Perdebatan Teologis di tengah Krisis covid-19 : Tidak Perlu tapi Krusial
Wabah covid-19 ini memang hadir dan menghentak berbagai
pihak. Karena semua elemen dalam masyarakat dunia tidak pernah menyangka hal
ini akan terjadi. Dalam situasi ketidaksiapan ini, orang-orang dari berbagai
latar belakang memberi respon yang beragam. Yang tidak ketinggalan tentu adalah
agama sebagai satu elemen kehidupan manusia yang penting juga memberi
tanggapan. Sudah kita duga tentu karena pluralitas dalam keimanan manusia, maka
tanggapan yang muncul terhadap pandemik ini juga beragam. Bahkan tak jarang
terjadi perdebatan yang sengit. Contohnya yang terjadi di Indonesia belakangan
ini antara beberapa pendeta yang berbasis di Jakarta.
Dimulai dari Pdt. Niko Njotoraharjo yang menyampaikan khotbah di youtube yang berjudul “Pdt. Niko Njotoraharjo – PESAN KHUSUS GEMBALA”. Khotbah ini disiarkan oleh channel youtube GBI Daan Mogot, berisi ajakan dari Pdt. Niko untuk sama-sama semua hamba Tuhan menghardik covid-19 dan krisis ekonomi yang sementara melanda sekarang. Ia percaya bahwa Tuhan sudah memberi kuasa kepadanya dan kepada orang percaya untuk menghardik hal-hal itu, sama seperti Tuhan Yesus menghardik Badai supaya berhenti. Maka ia yakin bahwa ia dan orang percaya bisa menyuruh covid-19 dan krisis ekonomi yang diakibatkan olehnya bisa diam dan berhenti. Tak lupa Pdt. Niko, yang adalah Gembala Gereja Bethel Indonesia, menyarankan agar hardikan itu berhasil, perlu ada bahasa roh.
Dimulai dari Pdt. Niko Njotoraharjo yang menyampaikan khotbah di youtube yang berjudul “Pdt. Niko Njotoraharjo – PESAN KHUSUS GEMBALA”. Khotbah ini disiarkan oleh channel youtube GBI Daan Mogot, berisi ajakan dari Pdt. Niko untuk sama-sama semua hamba Tuhan menghardik covid-19 dan krisis ekonomi yang sementara melanda sekarang. Ia percaya bahwa Tuhan sudah memberi kuasa kepadanya dan kepada orang percaya untuk menghardik hal-hal itu, sama seperti Tuhan Yesus menghardik Badai supaya berhenti. Maka ia yakin bahwa ia dan orang percaya bisa menyuruh covid-19 dan krisis ekonomi yang diakibatkan olehnya bisa diam dan berhenti. Tak lupa Pdt. Niko, yang adalah Gembala Gereja Bethel Indonesia, menyarankan agar hardikan itu berhasil, perlu ada bahasa roh.
Pdt. Stephen Tong merespon pernyataan itu dengan kritik keras bahwa itu adalah tanda-tanda nabi palsu. Dengan mengatakan bahwa Tuhan yang empunya dunia, berkarya atasnya, tidak memberi kuasa yang sama untuk manusia. Maka jika ada orang yang mengaku memiliki kuasa tersebut, maka ia sementara berdusta dan gila. Dalam kesempatan lain, Pdt. Tong yang adalah Gembala Gereja Reformed Injili Indonesia, mengatakan bahwa bagaimana kalau orang-orang yang mempraktekkan mukjizat kesembuhan itu untuk melakukannya di tempat-tempat orang sakit. Pernyataan dari Pdt. Tong ini direspon juga oleh Pdt. Gilbert Lumoindong dengan mengatakan bahwa Pdt. Tong adalah orang yang pongah, memiliki hati busuk dan dikuasai roh kegelapan. Walaupun ia memulainya dengan kritik yang juga sama kerasnya, ia mengatakan supaya kita bisa bersama-sama berdoa menghadapi persoalan covid-19 ini.
Di dalam perdebatan itu, memang benar seperti dikatakan oleh
Yuval Noval Harari, bahwa persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan solidaritas
dan kerja sama. Maka perdebatan yang mengutamakan keunggulan satu kelompok
tertentu tidak diperlukan. Yang wajib ada sekarang adalah bagaimana semua
elemen masyarakat bisa bekerja sama untuk melawan wabah ini. Tapi tak bisa
dipungkiri perdebatan dari beberapa orang itu punya dampak politis yang
signifikan. Sebab mereka yang disebutkan namanya sebelumnya punya pengikut yang
banyak. Teologi apa yang dianut oleh mereka berpengaruh pada sikap jemaat dalam
merespon persoalan covid-19 ini.
Dalam perdebatan itu, memang teologi-teologi yang menekankan
mukjizat dan bahasa roh tidak sekalipun menyentuh ranah tindakan nyata untuk
menanggulangi persoalan ini. Keterlibatan dalam hal medis tidak dianjurkan.
Yang ada hanyalah kepercayaan pada kuasa doa dan mukjizat. Walaupun belakangan saya mendapat info kalau ternyata Gereja-gereja tersebut mulai membagi bantuan kepada yang membutuhkan. Tapi debat teologis itu tetap masih berlanjut yang dibarengi dengan fanatisme dari masing-masing pengikut.
Dari sini kita bisa melihat bahwa memang dalam kondisi wabah ini perdebatan teologis perlu dikurangi dan diganti dengan kerjasama. Tapi kalaupun terjadi seperti sekarang ini, maka itu tak bisa dipungkiri memiliki dampak yang krusial.
Dari sini kita bisa melihat bahwa memang dalam kondisi wabah ini perdebatan teologis perlu dikurangi dan diganti dengan kerjasama. Tapi kalaupun terjadi seperti sekarang ini, maka itu tak bisa dipungkiri memiliki dampak yang krusial.


Jangan-jangan para gembala yang saling beradu argumen itu juga sedang dalam perasaan ketakutan dengan pandemi ini. Oleh karena itu mereka melampiaskan ketakutan itu dengan saling menyanggah.
BalasHapusSaling bertukar pendapat, memberi sanggahan, atau tanggapan dalam diskusi yang konstruktif adalah suatu kewajaran. Namun jika sikap saling sanggah itu pada akhirnya hanya menjadi perdebatan tanpa solusi - padahal umat memerlukan solusi dalam kondisi yang mengkhawatirkan ini - maka sikap para gembala itu sama seperti sikap para ahli Taurat dan Saduki terhadap Yesus yang berusaha membebaskan banyak orang dari berbagai penyakit; baik penyakit fisik, sosial, maupun mental.
Oke. Anggap saja kita "mengiyakan" apa yang dikatakan para gembala itu. Perlu menekankan kehidupan rohani dalam menyikapi pandemi ini. Menunggu mukjizat sambil berdoa, berpuasa, dan berbahasa Roh. Lantas apakah ini keliru? Semata-mata tidak!
Dalam situasi bencana, juga situasi yang lainnya, kehidupan spiritualitas tetap perlu dijaga. Berdoa, berpuasa, berkomunikasi dengan Roh, yang adalah Tuhan itu sendiri (jika bahasa Roh dimengeri demikian juga oleh para gembala itu) adalah praktik dalam pembentukan spiritualitas. Ini penting! Kesehatan mental dari tiap orang dalam situasi seperti ini bisa saja terawat dengan praktik-praktik disiplin rohani seperti itu.
Lantas, apas yang kurang? Kekurangannya ada pada pemutusan hubungan dengan dunia dan persoalannya! Memutuskan hubungan dengan persoalan dunia dengan hanya menunggu mukjizat tanpa bergerak dalam solidaritas yang nyata merupakan sikap yang tidak boleh ada dalam pembentukan spiritualitas. Mengapa? Karena - seperti yang dikemukakan oleh Kenneth Leech dalam bukunya Spirituality and Pastoral Care (1986) - pembentukan spiritualitas merupakan proses merupakan sebuah proses pertumbuhan di dalam dan berpusat pada Kristus (Christo-Centric). Kehidupan yang bertumbuh di dalam dan berpusat pada Kristus inilah yang kemudian akan nyata dalam tindakan yang solider dengan pergumulan dunia. Dari pembentukan spiritualitas (spiritual formation) berproses pada transformasi spiritualitas (spiritual transformastion).
Hanya saja, para pendeta tidak seharusnya memberikan php, serta salah tafsir ayat Alkitab, contohnya saja sekitar taon 80an di AS dan 90an yg memahami bahwa Tuhan akan datang kedua kalinya, tapi ternyata tidak terbukti, dan justru hal itu mengakibatkan banyak orang menjual hartanya...
BalasHapusBeda pendapat boleh tapi jika dalam memberikan komentar jangan menganggap dirinya yang paling benar tanpa melihat lebih dalam dan memperkuat materi..
BalasHapusMantap Moreh (y)