Stigma bagaikan Pedang bermata dua : Catatan Diskusi GEMAR #1
Oleh
Yan Okhtavianus
Kalampung, M.Si.Teol.
Peneliti Studi
Kekristenan
Fakta bahwa ada Stigma Sosial yang muncul akibat pandemic covid-19
ini sesungguhnya adalah hal yang wajar tapi tak bisa dianggap remeh. Bagi
kelompok masyarakat yang tidak mendapat
stigma, tentu hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Tapi rupanya seiring krisis
wabah ini terus merebak, stigma sosial yang merugikan banyak pihak, tidak bisa
dipungkiri lagi keadaannya. Merespon persoalan ini, Gerakan Merawat Nalar (GEMAR)
yang dimotori oleh Gerry Nelwan, S.Pd. menggelar diskusi bertajuk “Stigma
Sosial sebagai Tantangan bagi Penyelesaian Pandemi Covid-19”.
Beberapa hal perlu dicatat sebelum lanjut. Yang saya
paparkan disini adalah ide-ide yang bisa saya tangkap selama diskusi. Yang
diundang sebagai Pemantik Diskusi adalah Lidya Kandowangko yang bicara mengenai
asal muasal stigma sosial. Lalu Krueger Tumiwa yang mengkaji dari sudut
pandang psikologi Erich Fromm tentang
Narsisme Sosial. Ada juga Alter Wowor yang melihat bagaimana menyikapi Stigma
Sosial secara wajar dan bertanggung jawab. Lalu saya yang berbicara mengenai bagaimana
cara menyikapi Stigma Sosial dari perspektif kekristenan.
Pemaparan menarik dimulai dengan tiga faktor yang
menyebabkan munculnya Stigma Sosial. Pertama, ada relasi Kuasa yang timpang
menyebabkan orang yang berkuasa bebas untuk memunculkan informasi palsu yang
memunculkan stigma. Kedua, penyajian diri yang problematic dari pasien penyakit
menular. Ketiga, maraknya informasi yang seperti bom terus-menerus menyerang
dan meledakkan kemampuan orang untuk mengolah informasi sehingga tak mampu lagi
membedakan yang benar dan salah.
Fenomena Stigma Sosial ini kalau dilihat dari perspektif
Slavoj Zizek dalam bukunya Pandemic! memang bisa terjadi karena kita sekarang bukan
hanya mengalam Pandemik secara medis yaitu covid-19, tapi juga karena kita juga
diserbut dengan Pandemik Ideologis (Hoax, rasism dst.) Dalam situasi seperti
ini, mau bagaimanapun pasien covid-19 menyajikan dirinya, entah itu mengisolasi
diri atau diisolasi, mereka akan selalu ada dalam situasi problematic. Sama
seperti yang dialami oleh petugas-petugas medis yang terpapar virus corona dan
akhirnya menyebabkan keluarganya harus diusir dari daerah tempat tinggalnya.
Dari contoh itu juga kita bisa melihat bagaimana stigma
memainkan peranan buruk bagi orang-orang yang tidak bersalah. Walaupun seperti
dikatakan oleh salah seorang peserta diskusi bahwa stigma dalam batas tertentu
berguna untuk memicu ketakutan sehingga masyarakat bisa waspada menghadapi
virus corona ini. Hal ini penting karena belajar dari Italia, dimana mereka
kewalahan menampung pasien covid-19 akibat masyarakat yang menganggap remeh
persoalan ini. Memang disamping memberi dampak negatif, tapi juga stigma
memberi dampak yang positif.
Nah, stigma ini bisa muncul karena adanya ketakutan
berlebihan, yang oleh salah satu peserta diskusi disebut sebagai kecemasan
eksistensial. Kecemasan ini bisa muncul karena berhadapan dengan situasi
kematian. Itu mengapa saat berhadapan dengan penyakit Demam Berdarah misalnya,
masyarakat tidak sampai memunculkan stigma sosial, karena situasi sekarang
masih covid-19 yang membawa ancaman kematian. Untuk mengatasi stigma yang membawa
dampak buruk, maka para pemikir agama khususnya perlu memberi tempat khusus
bagi refleksi teologis menghadapi kecemasan eksistensial itu.
Dari diskusi yang berlangsung memang kelihatan bahwa
ketakutan dan kecemasan eksistensial itu dengan mudah bisa memunculkan stigma
sosial. Perlu ada pemikiran yang penuh mawas diri, sebab kadangkala kecemasan
eksistensial itu membuat orang dengan mudah juga memusnahkan orang lain dengan
kepentingan diri sendiri. Perlu sadar kalau ada stigma sosial yang beredar,
karena stigma tersebut seringkali disertai dengan informasi palsu yang membuat
kita bertindak gegabah, berlebihan dan akhirnya merugikan orang lain.


Komentar
Posting Komentar