Kita tidak bisa lari dari diri sendiri
Hidup dengan mempunyai impian dan cita-cita sebenarnya hal yang biasa.
Semenjak masih kecil, kita sudah biasa ditanyakan oleh orang yang lebih tua
mengenai kalau besar nanti kita mau jadi. Banyak jawaban yang muncul, itupun
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti misalnya tokoh idola, film yang
ditonton, sampai ke teladan dari orang tua atau keluarga. Yang menarik adalah
makin kita bertambah umur, kemampuan kita untuk mempunya impian atau cita-cita
makin berkurang. Saat kita mulai menginjak usia sekolah, kebanyakan cita-cita
yang kita miliki hanya perwujudan dari faktor mengikuti tren yang ada. Maka
sebenarnya dalam usia yang dewasa namun masih memiliki impian, itu adalah
anugerah besar.
Impian dan cita-cita seringkali tidak mendapat tempat dalam hidup
kita, karena kita lebih memilih untuk menempuh jalan yang berbeda. Banyak orang
pada akhirnya menyerah dan melepaskan mimpinya, tunduk pada kesulitan hidup.
Tapi dalam beberapa kasus, ada orang-orang yang tidak bisa lari dari impian
itu. Karena impian itu sesungguhnya ada perwujudan dari diri kita sendiri.
Itulah yang kita sebut sebagai “panggilan”. Paulo Coelho dalam novelnya yang
berjudul The Fifth Mountain,
bercerita tentang pengalaman hidupnya sendiri sebagai orang yang sempat lari
dari dirinya sendiri, tapi kemudian “ditangkap” dan tak bisa lari lagi.
Paulo Coelho adalah penulis dari Brazil yang mendulang
sukses dari berbagai tulisannya yang membius banyak orang di dunia.
Buku-bukunya sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Coelho sendiri dalam
beberapa kesempatan sering menyapa para pembacanya di Indonesia, karena ia
sendiri tahu bahwa banyak pembaca setianya di Negara ini. Dalam bagian awal buku
The Fifth Mountain, ia bercerita
tentang dirinya yang sempat lari dari impiannya untuk menjadi penulis. Ia
sempat berkarir dalam dunia musik sampai bercita-cita tinggi dalam dunia itu.
Ia mengubur impiannya untuk menjadi penulis dan sesekali membuat kompensasi
dengan menulis lirik-lirik. Tapi tak disangka ia kemudian “dipaksa” untuk
memperjuangkan mimpinya kembali, ketika suatu pagi ia dipecat dari perusahan
musik yang dikelolanya dan tak bisa menemukan pekerjaan di bidang itu lagi.
Buku itu sebenarnya berisi tentang tokoh Elia yang bernasib
kurang lebih sama dengan Coelho. Alih-alih mengukuti panggilan jiwanya untuk
menjadi nabi yang memberitakan Firman Allah, Elia malah memilih fokus dengan
profesi pekerja bengkel. Semua itu hilang sekejap ketika ia melaksanakan
panggilan jiwanya untuk menyampaikan nubuat dari Tuhan. Ia mengalami hidup yang
sulit bahkan seperti dikejar-kejar maut karena nubuat yang disampaikannya itu
tidak disenangi oleh penguasa. Sebenarnya melalui kisah yang memiliki latar
kehidupan nabi Elia dalam Alkitab Perjanjian Lama, Coelho seperti menggambarkan
perjalanan kehidupannya yang penuh lika-liku ketika akan “pulang” kembali ke
dirinya sendiri.
Dari cerita itu nampak bahwa sebenarnya kita perlu
berprasangka baik ketika musibah menimpa kita. Barangkali itu datang untuk
menegur kita untuk kembali ke diri sendiri. Kita sudah terlalu lama mengubur
hal penting dari diri kita di tengah gemerlap dunia. Kita lupa sesuatu yang
penting. Maka tak jarang kita ditegur dengan keras. Selama ini kita melawan diri kita sendiri.
Seperti kata bijak yang pernah saya dengar, “semua pertandingan bisa kita
menangkan, kecuali pertandingan melawan diri sendiri.” Walaupun begitu, ketika
kita mengikuti panggilan jiwa kita, belum tentu itu akan mudah, kita selalu
akan ragu dengan panggilan itu. Tapi seperti kata malaikat kepada Elia dalam buku itu, ”Ragu adalah
bagian dari iman.” Saya tidak bisa mengatakan hal lain, hanya selamat mengembara kembali pulang ke diri sendiri !


Komentar
Posting Komentar