Ekklesiologi di tengah Wabah : Rangkuman Diskusi #BacaritaSore1 tentang Gereja dan Covid-19
Oleh :
Yan Okhtavianus Kalampung, M.Si.Teol.
Peneliti Studi Kekristenan
Diskusi #Bacarita Sore diprakarsai oleh Farly Rondonuwu,
S.Teol. yang mengundang Dr. Denni Pinontoan sebagai Pemantik Diskusi dan saya
sebagai Moderator. Diskusi dilakukan dengan menggunakan aplikasi Google Hangout
dan dimulai tepat jam 5 sore pada tanggal 18-April-2020. Rencana awal diskusi
akan berakhir pada 6.30 tapi berlanjut sampai jam 7 malam karena antusiasme
dari para peserta dan pemantik diskusi. Peserta dihadiri 20 orang lebih yang
berasal dari berbagai elemen. Mulai dari institusi pendidikan tinggi (dosen dan
mahasiswa) sampai ke pemerhati kehidupan Gerejawi.
Rangkuman ini saya buat dengan memaparkan poin-poin yang
dikomentari oleh peserta diskusi. Jika ingin mendapatkan materi dari Pemantik
Diskusi, boleh menghubungi yang bersangkutan. Saya hanya bermaksud untuk
melengkapi tulisan tersebut, semata-mata berdasarkan penangkapan saya atau
ide-ide yang berselewiran selama diskusi.
Gereja dan Pastoral
yang edukatif
Salah satu poin yang ditekankan oleh pemantik diskusi
mengenai peran Gereja di tengah wabah covid-19 adalah melaksanakan kerja
Pastoral. Pertama-tama Gereja bisa menjadi corong terdepan untuk terus mendidik
jemaat agar sadar dengan persoalan wabah ini. Mereka bisa terus menerus
diingatkan agar tidak tertular dan menularkan wabah ini. Persoalan wabah ini juga
mengubah banyak hal dalam proses bergereja. Salah satunya ialah ibadah
perjumpaan fisik yang selama ini menjadi patokan dari kehidupan bergereja, kini
harus diubah menjadi ibadah virtual atau hanya berupa suara yang didengarkan
lewat pengeras suara. Di tengah hal seperti ini, justru sangat dibutuhkan kerja
Pastoral yang konsisten mendidik warga gereja.
Gereja juga Pribadi
bukan hanya institusi
Dalam diskusi itu ada kesepakatan bersama baik Pemantik dan
peserta diskusi bahwa sesungguhnya Gereja bukan hanya institusi, Gereja juga
adalah Pribadi-pribadi. Maka dalam hal menghadapi Covid-19 ini, Gereja sebagai
sekumpulan pribadi yang percaya pada Allah yang menyelamatkan kehidupan, perlu
juga bertindak secara pribadi tanpa perlu menunggu tindakan dari aspek struktural.
Memang Gereja sebagai organisasi perlu bertindak juga, tapi selain menunggu
itu, Gereja sebagai pribadi bisa juga mengambil inisiatif. Pemantik Diskusi
memberi contoh dimana seorang anggota Polisi yang tanpa perintah pimpinannya,
menguburkan pasien covid-19 di daerah Minahasa Utara karena inisiatifnya
sebagai seorang majelis Gereja. Di samping itu, ada juga kelompok-kelompok
kecil dalam Gereja seperti kolom-kolom yang berinisiatif untuk memberi bantuan
diakonia karitatif terhadap yang membutuhkan. Walaupun begitu, para pribadi
juga bisa turut mengawasi penyaluran bantuan dari Pemerintah sangat rawan
dimanipulasi oleh orang-orang yang berusaha mengambil keuntungan di tengah
krisis ini. Orang-orang seperti itu, disebut oleh Slavoj Zizek dalam bukunya
yang berjudul Pandemic, sebagai bentuk dari barbarisme.
Ekonomi Gereja dan
Ekonomi Jemaat di tengah Krisis
Salah satu krisis yang tidak bisa dipungkiri dalam masa ini
adalah Krisis Ekonomi. Baik Gereja sebagai institusi maupun tiap anggota jemaat
mengalami persoalan ekonomi. Wabah ini menyerang berbagai unsur masyarakat
tanpa ada satupun yang siap,termasuk Gereja. Di media sosial, banyak yang
mendesak agar Gereja bisa terus melaksanakan Diakonia karitatif. Tapi insitusi
Gereja sendiri sementara mengalami defisit anggaran akibat ketiadaan
perkumpulan ibadah-ibadah yang selama ini dilaksanakan. Masyarakat juga begitu.
Mereka mengalami krisis ekonomi karena banyak aspek mata pencarian yang
berhenti akibat wabah ini. Terkait ini, yang dipersoalkan oleh salah satu
peserta diskusi adalah bagaimana mungkin di tengah krisis, Gereja bukan
membantu orang-orang yang membutuhkan tapi justru terus menagih persembahan ke
rumah-rumah jemaat.
Cara berpikir ini masih menggunakan logika pasar saham yaitu
logika transaksional. Gereja entah itu sebagai institusi dan pribadi memang
sementara mengalami krisis ekonomi, tapi dengan pola menagih dan meminta
seperti itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Di masa ini, hanya semangat
rela berkorban dan solidaritas yang bisa melampaui logika pasar dan menguatkan
tiap elemen. Institusi Gereja tidak perlu terlalu menuntut persembahan ke
jemaat, begitu juga jemaat tidak perlu berpikir bahwa selama ini sudah memberi
banyak untuk Gereja maka sekarang saat menuntut balik atas pemberian itu di tengah
saat sulit ini. Perlu ada logika cinta kasih, karena Gereja yang sesungguhnya
itu selalu berlandaskan diri pada komitmen mengikut Yesus Kristus yang penuh
kasih itu.
Terkait tema Ekonomi Gereja ini, kesempatan diskusi
berikutnya akan didalami lebih lagi.
Gereja sebagai
komunitas penyembuh
Salah satu pokok yang didiskusikan adalah peran beberapa
Rumah Sakit milik Gereja yang bisa diusulkan untuk jadi tempat rujukan bagi
pasien covid-19. Gereja sudah lama terlibat dalam penanganan kesehatan
masyarakat, terbukti dengan banyaknya rumah sakit swasta milik Gereja yang ada
di Sulawesi Utara. Namun sampai kini tidak ada satupun yang jadi rujukan pasien
covid-19. Penyebabnya tidak diketahui, tapi kalau bisa terjadi maka itu juga
menjadi salah satu wujud nyata dari Gereja sebagai komunitas penyembuh. Selain
itu, mendukung wacana dari PGI yang merekomendasikan agar Gedung-gedung Gereja
boleh dijadikan tempat isolasi dari pasien covid ini. Selain peran Gereja yang
terus menghimbau jemaat untuk memperhatikan hal-hal medis sederhana, seperti
mencuci tangan, physical distancing,
dst juga menjadi wujud dari Gereja yang terus berdialog dengan realitas. Gereja
yang membawa berkat.
Gereja perlu menyesuaikan
diri dengan ilmu pengetahuan
Gereja bukan baru pertama kali berhadapan dengan wabah yang
mematikan. Beberapa yang pernah dicatat misalnya ketika berhadapan dengan wabah
Black Death , Flu Spanyol, dan wabah
yang pernah melanda Minahasa. Pada awalnya memang Gereja banyak melakukan
hal-hal yang keliru, seperti dalam kasus Black
Death yang menewaskan ratusan juta
orang di dunia, wabah ini berjangkit lewat kutu tikus yang berpindah ke manusia.
Gereja pada waktu itu, menyikapi persoalan ini dengan melakukan
pertemuan-pertemuan ibadah yang justru memberi kesempatan untuk wabah itu
menyebar. Itu semua bisa terjadi karena Gereja belum mengenali ilmu pengetahuan
yang maju seperti sekarang. Menariknya memang dalam sejarah, Gereja sudah
menerima perkembangan ilmu pengetahuan ketika berhadapan dengan wabah-wabah
selanjutnya. Hanya saja sampai sekarang masih ada beberapa Gereja yang
menafikan perkembangan ilmu pengetahuan dan justru menjadi salah satu cluster penyebaran wabah covid-19 di dunia. Dengan
demikian, wujud Gereja sebagai pejuang kehidupan menjadi nyata kalau Gereja
selalu bekerja sama dengan ilmu pengatahuan, khususnya ketika berhadapan dengan
situasi krisis seperti sekarang ini.



Ide diskusi antar denominasi ini - bagaimanapun - harus diacungi jempol. Materi ideal dan bersesuaian dengan waktu presentasinya.
BalasHapusSaya koq selalu kagum kalu ada ada muda kristen yang punya pemikiran2 berbau "quantum leap" seperti ini. Mungkin karena saya yang orang kebanyakan ini terlalu berharap banyak akan kehadiran terobosan2 baru dalam gaya kita mengejawantahkan makna persekutuan.
Gereja (baca: persekutuan org percaya) lebih sering menampilkan wajah yg kering kerontang dan mekanis, rutin dan tidak menyentak apalagi menyapa. Karena yg dipercakapkan melalui khotbah selalu jauh dari persoalan nyata. Apalagi solusinya.
Nah rangkuman diskusi ini -menurut saya- mengingatkan kita kembali bhw gereja tidak harus selalu mengutamakan kuantitas tapi kualitas. Persekutuan tidak perlu harus extravaganza, ramai, gaduh bahkan berisik tapi sebenarnya dingin.
Bagai kerumunan orang menanti datangnya kereta. Cuma bisa beradu fisik, tapi tidak bersentuh jiwa.
Kalu sudah gini nampaknya istilah anatheisme Richard Kearney menemukan bentuknya dalam upaya menemukan kembali kekudusan ilahi yg sempat tersembunyi oleh konflik dan perbedaan sudut pandang teologi.
Selamat hari minggu.🙏🙏 (G. S. Mo.)