Pelacur dan Kerumitan Hidup
Suara orang yang lagi menelepon dalam bahasa yang tidak
kumengerti. Sesekali memakai bahasa manado, sesekali menggunakan bahasa alien.
Suara air yang terus menetes di luar seakan tak
mau kalah. Aku sering bingung, itu sebenarnya air yang mengalir dari mana
kemana. Kadang tidak ada suara air yang mengalir. Kadang hening namun di tengah
malam buta ada suara air yang mengalir. Pernah aku berpikir mungkin suara air
yang mengalir itu adalah suara orang yang lagi kencing dari lantai dua gedung
tempat tinggal kami sehingga mengenai seng di gedung lain atau di gedung itu
sendiri. Aku tahu persis hal itu karena aku sendiri sering menjadi pelakunya
waktu masih tinggal di asrama dulu. Semua bunyi-bunyi yang tak jelas itu
mengiringi suasana saat aku membaca Cantik itu Luka dari Eka Kurniawan.
Buku itu isinya sering membuatku merasa campur aduk. Kadang
lucu. Kadang seperti membaca tulisanku sendiri karena Eka banyak menggunakan
bahasa yang jorok, seperti mulutku yang sering menggunakan istilah-istilah
jorok. Lalu aku belum selesai membaca, aku masih diselumuti kebingungan.
Sebenarnya Eka ini mau bicara apa ? Kalau kubaca Bumi Manusia, dari start awal
memang sudah kelihatan nuansa resiliensi di dalam buku itu. Kesan kuat bagiku
adalah Pram sementara berjuang melawan keputusasaan. Mungkin berbeda dari Minke
yang kalah, Pram justru menang. Karena dari tiap hentakan kata yang ada di buku
itu Pram selalu menegaskan perlawanan terhadap takdir. Ia tidak menyerah dengan takdir. Apapun yang terjadi
takdir yang tidak menguntungkan harus ditaklukkan. Melawan sejadi-jadinya.
Melawan dengan segala kemampuan di tengah ketidakmampuan. Itulah Pram. Namun
Eka lain.
Entah darimana Ben Anderson menampuk Eka Kurniawan sebagai
penerus Pram. Mungkin karena sosok utama dalam Cantik itu Luka adalah Dewi Ayu
yang sering mengingatkan saya terhadap Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Tapi
mereka berbeda. Nyai Ontosoroh mungkin dijual menjadi Gundik, tapi Dewi Ayu
punya kompleksitas tingkat tinggi yang jauh melampaui itu. Tapi membaca Dewi
Ayu ini memang punya tema yang sama dengan tema yang ditulis oleh Pram. Baik
Eka maupun Pram sama-sama berbicara tentang kompleksitas hidup dan bagaimana
orang-orang itu melampuainya.
Khusus untuk Dewi Ayu yang hidup sebagai pelacur.
Kemampuannya untuk bertahan di tengah gonjang ganjing kehidupan, membuatku
teringat dengan diriku sendiri. Aku sering menyebut diriku sendiri sebagai
seorang Pelacur Intelektual. Semenjak kuliah di Jogja, aku sering menjual ide
dan kemampuanku menulis yang terbatas kepada orang-orang yang membutuhkan.
Kemampuanku memang tidak terbatas, tapi ternyata dibutukan oleh sebagian orang
sehingga aku minimal bisa mendapatkan makanan dari mereka. Sampai sekarang
setelah pulang dari Jogja, aku masih menjadi pelacur intelektual. Mungkin yang
berbeda dari waktu itu adalah tingkat kepelacuranku makin meninggi. Itu
ditandai dengan tulisan-tulisan hasil pelacuranku berguna untuk konteks yang
boleh dikata internasional. Baik Dewi Ayu maupun pengalaman hidupku, membuatku
sadar bahwa hidup tidak sesederhana dalam teori-teori yang ideal itu. Hidup itu
rumit dan banyak kejutan-kejutan aneh yang terjadi dalam hidup karena kerumitan
itu. Kita tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi ke depannya. Dan kita
tidak bisa serta merta menghakimi keputusan yang dibuat seseorang, karena di
balik itu ada kerumitan yang mungkin tidak akan pernah bisa pahami. Sama
seperti bagaimana aku terus berusaha mempertahankan padepoka ONOA. Hidup ONOA
!!!

Komentar
Posting Komentar