Merayakan Kematian

Siang Itu suasana agak panas. Itu hal yang lumrah di Jogja. Apalagi di suatu Gedung Gereja yang besar dan dipenuhi oleh khalayak ramai jam 11 siang. Saya yang bukan anggota dari Gereja suku itu, menjadi khadim dalam Ibadah Minggu. Aku sebenarnya tidak pede. Bukannya apa. Aku tahu kalau kelompok Suku itu agak eksklusif dalam memandang dunia. Hitam-putih. Yang sama dan berbeda. Sehingga aku tidak yakin kalau khotbahku akan diterima baik oleh mereka. Tapi ya begitu, tetap saja aku coba untuk maju dan berbicara. Tepat setelah saya turun dari mimbar, saat akan keluar dari Gedung Gereja, saya dihampiri oleh seorang Bapak. Botak, tegap, berkacamata, dan punya senyum yang lebar. Dengan yakin, ia kemudian menjabat tangan saya yang diselingi dengan amplop. Setelah sampai di Kos, kubuka isinya lumayan banyak. Jangan iri ya.
Itu peristiwa sekitar tiga tahun lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa Pascasarjana UKDW. Dari kekasih, yang adalah anggota Gereja itu, saya jadi tahu ternyat Bapak yang menghampiri saya itu adalah seorang tokoh ternama di Gereja itu. Ia telah lama terlibat dalam kerja pelayanan sebagai seorang awam. Walaupun sebenarnya ia sendiri adalah seorang akademisi di UGM yang terkenal itu. Beberapa minggu lalu, kami menerima kabar kalau beliau meninggal dunia. Kekasihku, sangat mengagumi beliau. Semenjak kami mulai pacaran hingga sekarang, mungkin sudah lebih dari lima kali, cerita tentang Bapak itu disampaikan kepadaku. Ia adalah seorang Profesor, memulai karier dari nol ketika pertama kali merantau ke Jogja dari tanah kelahirannya. Memiliki usaha becak dan banyak menolong orang ketika beliau menjadi orang penting di salah satu Rumah Sakit di Jogja. Aku sendiri tidak terlalu menganggap itu sebagai hal yang luar biasa. Tapi satu momen memikat pandanganku.
Saat-saat dimana jasad beliau disemayamkan di rumah hingga dibawa ke UGM tempat ia mengabdi selama puluhan tahun, kekasihku mengikuti dengan setia melalui instastory salah satu anaknya. "Suasananya bukan suasana duka, tapi sukacita." Kekasihku berujar seperti itu saat menyaksikan tiap prosesi yang ada. Anak-anak serta cucu-cucu dari beliau tidak menampakkan raut wajah sedih tapi dengan penuh penghayatan berulang kali menyanyikan lagu rohani kesayangan beliau. Sang Bapak rupanya meninggal saat sedang tidur. Semua keluarga dengan rela melepaskan kepergiannya. Dari facebook yang kuikuti bersama kekasih, keluarga selalu mengulang-ulang ungkapan "Kami akan terus mengenang teladan hidup dari kakek/bapak."
Momen ini mengingatkanku akan sosok Mansour Al-Hallaj. Seorang pahlawan Sufi Islam, yang terus dikenang oleh orang-orang Muslim karena kisah hidupnya yang memukau. Ia adalah seorang tokoh agama yang disegani oleh masyarakat tapi sekaligus dibenci oleh para penguasa di waktu itu. Beberapa tokoh pengambil keputusan di waktu itu, mengatur sedemikian rupa hingga akhirnya Al-Hallaj dihukum mati. Aku membaca tentang tokoh ini dari buku "Silent Cry", tulisan dari Dorothee Soelle. Dalam buku ini, Mansour Al-Hallaj dibahas sebagai salah satu contoh dari orang yang hidupnya hanya untuk Tuhan. Ia adalah teladan hidup dari orang yang hidupnya sudah menyatu dengan Tuhan. Ia hidup sebagai orang yang menampakkan cinta kepada Tuhan. Satu hal yang menarik pandanganku dengan sangat dari sosok ini adalah momen ketika ia menjemput kematian. Ia difitnah oleh para penguasa sebagai orang sesat dan akhirnya dijatuhi hukuman mati. Saat diarak menuju tempat eksekusi, Mansour menari dengan sukacita. Para pengarak melihat dan bertanya dengan heran kenapa ia begitu. Dengan heran pula ia bertanya, "bukankah ini adalah jalan menuju tempat nyawaku diambil?" Mansour menjemput kematian dengan sukacita. Bagi Soelle ini adalah contoh orang yang jiwanya selalu mengarah kepada Tuhan. Ia dengan sukacita menjemput kematian karena Ia tahu, kalau ia akan kembali pada yang dicintainya.
Aku bicara panjang lebar seperti ini, karena aku ingin seperti mereka. Aku ingin menjemput kematian dengan sukacita dan orang-orang yang kutinggalkan bisa dengan sukacita melanjutkan kehidupan karena hikmat yang kutinggalkan. Baik Bapak itu maupun Mansour hingga kini terus dikenang. Bapak yang terus dikenang oleh Keluarga melalui teladan hidup miliknya dan kenangan Mansour Al-Hallaj yang disaksikan oleh Annamarie Schimmel pada saat ia berada di salah satu daerah Pakistan, ia tanpa sengaja mendengar orang-orang menyanyikan lagu yang liriknya kira-kira berbunyi "Tanya para pecinta bagaimana sebenarnya cinta itu. Jika kau tidak percaya padaku, tanyalah pada mereka, pasti jawabannya (cinta itu) seperti Mansour ." Menjadi orang yang memuji Tuhan sebagai yang dicintainya. Dan ia dikenang karena cintanya itu bahkan melampaui kematian.
Ah, serius amat lu bro. Yang penting padepokan ONOA masih bertahan. Lanjyuttt...

Komentar

Postingan Populer