Dari Hamba menjadi Pejabat
Kami menaiki mobil yang kecil. Berkapasitas empat orang,
satu supir lalu 3 orang penumpang. Aku dan kekasih sementara menuju acara
pernikahan salah seorang sahabatnya di daerah yang berjarak sekitar 45 menit
dari kosan milikku. Kekasih menginap di rumah temanku yang berlokasi tidak jauh
dari tempatku. Pada saat itu mobil yang kami tumpangi, dikendarai oleh seorang
pengemudi online yang pernah bekerja di tempat aku kuliah dulu. Di tengah
perjalanan ia ditelpon oleh salah seorang pelayan Gereja yang mengusulkan agar
ibadah besok hari di rumahnya bisa dipimpin oleh Pendeta yang memiliki jabatan
tinggi di Gereja. Dengan sontak si pengemudi mobil online menjawab bahwa ia
merasa segan untuk menelpon pendeta tersebut karena ia hanya seorang jemaat
biasa.
Peristiwa membuatku berpikir, bahwa ada kecenderungan yang
kuamati dari Pendeta di Gerejaku yang tercinta mengalami orientasi kerja. Kalau
dulu, Pendeta dikenal karena sifatnya yang rendah hati sehingga memiliki
kedekatan dengan jemaat biasa. Sekarang Pendeta menjadi sosok yang disegani
karena jabatan yang dimilikinya. Pendeta bukan dikenal karena kiprahnya yang
baik dan berwibawa tapi karena jabatan yang dimilikinya. Tidak heran kalau
sekarang banyak Pendeta yang melakukan berbagai cara agar bisa menjadi pejabat
demi mendapat penghormatan dan keseganan dari jemaat. Hal ini memang menggoda
sekali.
Barangkali ini yang dimaksudkan dengan kenosis yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus. Saat ini konsep itu
menjadi sangat penting karena Para Pendeta sangat membutuhkan niat dan sikap “mengosongkan
diri” dari segala godaan jabatan. Kukira Pendeta mendapatkan gelar tersebut
bukan untuk mendapatkan jabatan tapi untuk menjadi hamba. Tuhan Yesus kukira
bukan demikian. Ia yang dengan segala kemuliaannya, rela melepaskan semua itu
demi menjadi hamba. Para Pendeta sekarang malah sebaliknya, melepas
kehambaannya demi mendapatkan kemuliaan. Mungkin aku yang bukan Pendeta ini
salah, tapi secara sederhana hal ini perlu dipertimbangkan dengan serius.
Perlu dipertimbangkan lagi sebenarnya apa maksud dari kata “pelayanan”
yang sering dilontarkan oleh Pendeta sekarang ini. Untuk apa melayani ? Untuk
siapa melayani? Bagaimana sebenarnya pelayanan itu ? Perasaan yang dimiliki
oleh pengemudi itu memang diakui olehnya bukan karena disengaja. Ia sendiri
hanya secara spontan bereaksi demikian terhadap situasi tersebut. Tapi dengan
adanya situasi itu, justru memperlihatkan bahwa itu sudah menjadi sesuatu yang
lumrah. Kalau asumsi ini benar, maka Gereja sebagai alat pelayanan Tuhan
sementara ada dalam situasi negatif yang serius. Ngomong apa sih ini ? Aku aja
gak mau jadi Pendeta, udah kritik-kritik Pendeta segala. Sadar diri donggg….

Komentar
Posting Komentar