"Hargai Hidupku!"
"Hargai Hidupku!"
Kajian Moral terhadap Praktek Aborsi[1]
Oleh : Yan O. Kalampung
Semalam saya menerima SMS (Short Message Service) dari Krueger K. Tumiwa bahwa kekasihnya Ikhe Pinontoan meminta agar pada hari Kamis (15-Maret-2012) ini diadakan diskusi Komunitas Baku Beking Pande dengan Tema : Kajian Etis-Teologis-Medis terhadap Praktek Aborsi, saya langsung mengiyakan usulan ini dengan mengirim pemberitahuan kepada teman-teman yang lain. Saya rasa pokok ini menarik, dan cukup menantang.
Selama ini mungkin kami mahasiswa Teologi khususnya Angkatan 2008 belum terbiasa mengenai diskusi macam ini. Karena kami selama ini mungkin terlalu sibuk dengan banyak hal, mungkin percintaan, tugas-tugas kuliah (yang kebanyakan dibuat hanya untuk mencari nilai dan bukan ilmu), tugas-tugas pelayanan (yang dimaksud pelayanan disini dalam arti sempit yaitu pimpin Ibadah) sehingga menurut saya kami belum terlatih untuk mengkaji secara serius tentang suatu masalah. Inilah mengapa saya katakan tadi hal ini cukup menantang.
Terbersit juga dalam benak saya untuk membuat suatu tulisan yang berisi kajian saya tentang Tema diskusi ini. Dengan maksud pertama-tama untuk meramaikan diskusi, mengisi waktu, dan melatih kemampuan mengutarakan gagasan saya. Saya mencoba mencari-cari beberapa literatur yang mungkin dapat menunjang kajian dalam tulisan saya ini. Yang saya dapati beberapa literatur mengenai Aborsi hanyalah menyangkut Moral dan Biblis. Namun supaya menghemat waktu dan tempat juga dapat membuka diskusi lebih lebar mengenai masalah ini (juga karena saya tahu banyak dari teman-teman yang tahu tentang isi Alkitab), karena itu saya membatasi pembahasan saya ini hanya pada Kajian Moral.
Sekilas dasar Moral dari Aborsi
Barangkali sebelum lanjut saya ingin memberikan sedikit gambaran mengenai Aborsi. Dari literatur yang saya miliki, hanyalah satu pengertian yang saya dapati mengenai Aborsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[2], aborsi berarti pengguguran kandungan. Tentu pengertian tidak perlu lagi saya jabarkan untuk dimengerti oleh teman-teman namun yang perlu dipahami saja bahwa kata aborsi yang saya pakai dalam pembahasan ini bermakna sesuai dengan kamus tersebut.
Memberikan suatu kajian moral, tentu memerlukan suatu landasan mengenai hal tersebut dipandang dari sudut pandang moral. Dalam kajian Moral, ada suatu prinsip mendasar, khusus sekaligus kuno yang dipegang teguh barang kali sampai saat ini yaitu Kesucian Kehidupan (The Sanctity of Life). Artinya, kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut (mutlak) dan karena itu selalu serta dimana-mana harus dihormati.[3]
Dalam Etika Profesi Kedokteran, pengertian Kesucian Kehidupan mempunyai arti yang mendalam. Dalam suatu dokumen yang disebut Sumpah Hippokrates (Dijuluki Bapak Ilmu Kedokteran), bertuliskan demikian : Aku tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun bila orang memintanya, dan juga tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian juga akau tidak akan memberikan kepada seorang wanita sarana abortif. Dalam kemurnian dan kesucian aakn kujaga kehidupan dan seniku.[4]
Kalau kita langsung memakai prinsip ini dalam membuat suatu kajian terhadap suatu masalah, yang dalam hal ini aborsi, tentu kita dapat langsung berkata bahwa Tindakan Aborsi adalah Perbuatan tidak Bermoral! Tapi tunggu dulu.
Dalam kajian moral, kita tidak bisa langsung menghakimi seseorang tanpa harus mengetahui terlebih dahulu latar belakang hingga seseorang itu berbuat hal yang demikian. Kita mungkin ingat bahwa dalam Prinsip Moral, ada yang disebut Jahat-Tapi-Apa-Boleh-Buat.[5] Bahwa untuk suatu kondisi tertentu diperbolehkan untuk berbuat sesuatu yang Jahat.
Mungkin juga itu alasan mengapa sekarang di banyak Negara sudah mensahkan pelaksanakan Tindakan Aborsi. Bahkan menurut K. Bertens, sudah banyak seminar dan diskusi sudah menyuarakan agar Aborsi dilegalkan di Indonesia. Aborsi disini menghadapi pertanyaan kritis : Apakah dalam keadaan tertentu kita boleh mengakhiri kehidupan manusia?
Dulu di Romawi kuno, bayi yang juga sudah lahir dengan cacat berat bisa langsung dibunuh (dikenal dengan sebutan infaciticide/pembunuhan anak kecil) juga dengan suku Eskimo yang diizinkan membunuh orang tuanya, jika orang orang tuanya dilihat sakit-sakitan dan lemah. Adalah salah satu pertimbangan moral mengapa pembunuhan dapat diizinkan.
K. Bertens mengakhiri uraiannya dengan agak lunak, yaitu karena rasa menghargai manusia yang mendalam terhadap manusia lain dan kehidupannya (terbukti dengan manusia yang menguburkan sesamanya yang meninggal, yang menurut para antropolog sudah sejak ribuan tahun lalu), maka sepatutnya manusia mengupayakan kehidupan sesamanya. Menurutnya manusia pada suatu waktu akan mengalami dilema-dilema besar dalam kehidupan dan karena dilema itu, sewaktu-waktu manusia harus melakukan aborsi atau tindakan membunuh lainnya. Namun sepanjang masih bisa diupayakan, usahakanlah selalu kehidupan.
Penutup
Kita mungkin bisa bersikap seperti Mother Teresa yang secara ekstrim menolak aborsi dan berkampanye dengan berkata : “Daripada kau mengaborsi anak itu, lebih baik kau lahirkan saja anak itu dan bawa itu anak itu kepada saya, biar saya yang besarkan”. Tapi karena ini hanya berupa pengantar saja, mungkin saja ada pikiran-pikiran lain yang lebih muncul dari teman-teman sebagai pokok pertimbangan kita atas masalah ini.
[1] Salah satu Bahan materi yang sengaja dibuat untuk menjadi salah bahan diskusi Komunitas Baku Beking Pande, tgl 15-Maret-2012 di Kediaman Kel. Pinontoan-Setlight (a.n. Eunike Pinontoan).
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ed. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hal. 3.
[3] Bertens Kees, Sketsa-sketsa Moral : 50 Esai tentang Masalah Aktual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 98.
[4] Ibid, hal. 100. Dalam dokumen ini memang tidak secara langsung menyebutkan mengenai prinsip Kesucian akan kehidupan tadi, namun dari kata-katanya memang telah menekankan pentingnya kehidupan dalam profesinya itu.
[5] Salah satu kajian yang cukup baik (menurut saya) tentang pokok dapat dilihat di Darmaputera Eka, Etika Sederhana untuk Semua : Perkenalan Pertama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 145.

Komentar
Posting Komentar