Cerita Risetku #2 “Karya saya adalah sampah”
![]() |
| Foto bagian dalam Brotherton Library, salah satu pusat koleksi buku teologi dan studi agama di University of Leeds. Dok pribadi. |
Dari sekian jumlah tantangan saya menjalani studi PhD ini,
rasa tidak percaya diri adalah hambatan yang besar. Untuk menggambarkan rasa
tidak pede itu, lumayan kompleks.
Di satu sisi, saya menyadari bahwa secara kemampuan, saya
masih tidak cukup untuk PhD. Ini merupakan tahap belajar dan semua orang yang
terlibat dalam proses studi ini mengatakan kepada saya bahwa ini adalah normal.
Saya pikir itu tentu benar. Dalam berbagai hal, saya masih butuh
waktu untuk beradaptasi. Baik hal menyusun argumentasi akademik yang meyakinkan
tapi terutama menulis dalam bahasa Inggris, saya masih perlu belajar.
Tapi di sisi lain, saya sulit sekali bergumul dengan
perfeksionisme. Selalu ada anggapan naif bahwa saya bisa sempurna dalam proses
ini. Saya selalu berharap akan dipuja-puji tiap kali menelurkan karya. Tentu
saja itu tidak terjadi bung!
Alih-alih dipuja-puji, apa yang telurkan, terutama tulisan
akademik, selalu dihajar, dihantam dan dibantai. Karena memang ini tingkatan
baru dalam studi. Kalau saya melewati semua ini dengan mulus dan puja-puji, saya
tidak akan belajar apapun.
Tapi tak bisa dipungkiri, perfeksionisme ini selalu menjadi
siksaan batin bagi saya.
Saya diwajibkan sebagai bagian dari proses studi secara rutin untuk
memasukkan tulisan terkait riset yang jalani sekarang. Rasa tersembunyi untuk
sempurna sering menghambat saya.
Bukannya terus berkarya, otak saya selalu membeku dan
hati saya selalu menghambat saya untuk berpikir kreatif.
Konflik dalam diri saya, mulai rasa tidak pede, rasa takut
jangan-jangan saya tidak cukup pintar untuk PhD ini sampai rasa untuk selalu
ingin sempurna, membuat diri saya bingung. Harus bagaimana.
Proses ini terjadi setahun lebih, sampai saya akhirnya
berpikir ya sudahlah, kalau mau hancur ya hancur sajalah. Karena sebaik apapun
karya yang sudah saya kerjakan sekarang, pasti akan dihajar juga. Tidak akan
sempurna.
Karena hanya dengan kritik, saya bisa belajar.
Saya tidak bisa berhenti sekarang, hanya bisa terus
melangkah. Dan muncul ide dalam pikiran saya, mungkin lebih baik saya berpikir
bahwa apa yang telurkan itu sesungguhnya adalah sampah.
Saya pikir kalau saya menganggap karya saya adalah sampah,
maka saya tidak akan terluka kalau dikritik, dihantam dan dibantai.
Salah satu kriteria seorang expert menurut Carol Dweck, ahli
psikologi belajar, adalah haus kritik. Makin ahli seseorang, maka sesungguhnya
makin ia ingin dikritik. Karena kritik adalah kesempatan untuk berkembang.
Saya pikir kalau karya saya dikritik, tentu itu tidak
masalah, karena itu adalah sampah.
Istilah sampah ini tentu saja bukan muncul begitu saja. Ini
muncul dari percakapan dengan profesor saya. Ia bilang kalau karya doktoralnya
yang dulu itu rubbish alias sampah,
walau ia bangga akan hasil kerjanya itu.
Mungkin itulah cara seorang expert berkembang. Tidak stagnan
dengan karya masa lalu, tapi berupaya untuk terus mengembangkan diri.
Berkarya dan lupakan. Bukan hidup terjebak pada romantisme
karya masa lalu.
Kalau ada pandangan populer mengenai kunci sukses adalah
dengan menganggap karya kita sebagai kegagalan, dan dengan terus berkarya kita
berupaya untuk gagal dengan lebih baik lagi.
Maka bagi saya, tiap kali berkarya, saya menelurkan sebuah
sampah yang siap dikritik. Dan tujuan hidup saya kedepannya adalah menelurkan
sampah yang lebih baik lagi.
Tentu konflik dalam diri yang saya sebutkan tadi tidak
hilang begitu saja. Tapi itu terus berpulih seiring saya terus menelurkan
sampah dan menghasilkan sampah yang lebih berkembang lagi.
Terus melangkah masih jauh lebih baik dibanding saya
berhenti dan tidak berbuat apa-apa.
Terus menulis walau tidak sempurna, daripada menanti
inspirasi sempurna yang tidak akan pernah datang.
Blog ini juga sampah dan saya senang sekali kalau ada yang
mengkritik supaya blog sampah ini bisa menjadi lebih baik lagi.
Saya berupaya melepaskan diri dari perfeksionisme dan meningkatkan
kepercayaan diri saya. Saya tidak bisa sempurna dan walaupun karya saya
hanyalah sampah, tapi seiring berjalannya waktu sampah itu akan jadi lebih baik
lagi.
Harapan saya semoga sampah-sampah yang sudah saya telurkan
dan akan saya telurkan nanti bisa berguna bagi masyarakat.
.jpg)

sampah daur ulang, jadi bahan yg lebih baik
BalasHapus