HIDUP DI INGGRIS #4 SEBUAH PERAYAAN
| Foto di depan gedung Parkinson, lokasi ikonik University of Leeds. Ini diambil saat saya pertama kali tiba di Leeds. Dok pribadi. |
Maret 2021 saya tiba di Leeds. Waktu itu masih saat penghujung musim dingin. Saya cukup bersemangat untuk melewati musim yang menusuk tulang itu, walau penghangat ruangan sering bermasalah.
Saya tinggal di flat sewaan yang cukup besar sendirian saja.
Dalam suasana itu, memang gambaran PhD yang sunyi dan selalu sendirian memang
cukup terwujud. Orang boleh bilang bahwa PhD itu punya komunitas ini itu entah
dari Mata Kuliah yang diambil atau kelompok riset yang punya minat sama. Tetap
saja PhD itu perjalanan solo, tidak ada penumpang lain dalam perjalanan ini.
Di tengah kesendirian ini, saya mencoba untuk menikmati
hidup akademik. Saya berusaha sadar bahwa saya sementara menjadi studi di
kampus yang menyediakan banyak hal untuk dinikmati.
Maka mulailah saya memantapkan diri untuk menjelejah berbagai kemungkinan untuk pengembangan diri secara akademik.
Saya mengambil banyak kelas pelatihan yang semuanya berpusat pada kemampuan menulis akademik, sebuah kemampuan yang saya senangi tapi tentu saja tantangan terbesar saya dalam menjalani studi PhD ini.
Ya iyalah PhD
ini apa lagi kerjaannya kalau bukan nulis bosss…
Saya juga melihat kemungkinan untuk menikmati fasilitas akademik
yang tersedia. Saya berpindah dari satu fasilitas ke fasilitas yang lain untuk
menikmati tempat belajar yang tersedia. Mulai dari perpustakaan yang sangat
modern dan dipenuhi anak-anak muda S1, perpustakaan kuno yang diisi oleh
buku-buku kuno teologi, perpustakaan yang punya lantai khusus untuk mahasiswa pascasarjana,
ruang komputer yang disulap jadi tempat belajar, ruang bawa tanah yang dibuat jadi
ruang belajar, gedung bekas Gereja yang disumbang ke universitas sampai ke
perpustakaan medis yang ada berbarengan klinik tempat praktek para mahasiswa
kedokteran.
Saya menghabiskan sebagian besar waktu memang di kampus.
Walau demikian, di saat cuaca terlalu dingin atau saya sekedar malas untuk
keluar rumah, saya sengaja meminjam banyak buku untuk dibawa pulang dari
perpustakaan. Salah seorang teman pernah melihat saya membawa banyak buku sampai
terheran-heran.
Saya sengaja membawa buku sebanyak 50 buku ke rumah untuk
membuat saya merasa nyaman saat belajar. Tentu saja saya tidak selesai membaca
semua buku itu. Saya hanya merasa nyaman belajar di tengah banyak buku.
Kenyataan lain yang saya temukan di kampus ini ialah kemungkinan untuk dibelikan buku oleh perpustakaan kampus. Maka saya pun kalap memesan lumayan banyak buku, untuk ukuran saya, sebanyak 30 atau 40 buku, saya lupa persis.
Yang pasti sampai limit untuk
belanja buku terpenuhi. Karena kampus hanya memberi batas tertentu tiap
mahasiswa PhD untuk membeli buku. Supervisor saya sampai kaget karena saya
satu-satunya mahasiswa PhD di department kami yang kalap membeli sampai habis
jatah pas di tahun pertama.
Saya menulis postingan blok ini di pertengahan tahun kedua
studi saya. Dan di waktu ini masih ada teman se-angkatan PhD saya yang bertanya
buku apa yang harusnya dibeli olehnya. Ya begitulah orang Inggris yang selama
ini bergelimang fasilitas. Mungkin mereka tidak mengerti rasanya hidup selalu
merasa lapar dengan fasilitas akademik seperti saya.
Saya tentu saja punya persoalan dalam pergaulan akademik terutama karena persoalan bahasa. Tapi semua fasilitas yang nikmati secara mewah dan rakus ini membawa kesenangan tersendiri bagi saya yang hidup di tengah dunia akademik yang tidak peduli dengan fasilitas akademik.
Saya juga
merasa bahwa uang banyak yang dihabiskan negara untuk membiayai studi ini,
tidak boleh disia-siakan begitu saja. Harus dimanfaatkan sebisa mungkin.
Tentu saja masih ada fasilitas dari kampus yang bisa
dinikmati seperti dukungan dana untuk mempresentasikan hasil riset dan publikasi
lewat jurnal ilmiah. Ini penting tapi bukan yang terpenting, sebab yang
terutama adalah menyelesaikan riset PhD. Entah kemewahan publikasi itu bisa
saya nikmati atau tidak, entahlah, yang penting lanjutkan riset PhD sampai
selesai. Ini pokok tugas saya.
---------------
Di tengah berbagai kemewahan itu, saya masih bergumul dengan
riset saya yang belum jelas.
Horor ujian di akhir tahun pertama makin mendekat. Saya
sudah ada di pertengahan tahun pertama, itu artinya tinggal waktu 6 bulan lagi
saya harus melewati ujian transfer ke jenjang kandidat PhD.
Satu hal yang sadari adalah bahwa riset yang saya pilih ini
merupakan sesuatu yang betul-betul baru bagi saya. Akhirnya, setelah saya
mengganti topik riset sebanyak 5 kali, saya memutuskan berhenti untuk
asal-asalan dan menggunakan berbagai kemewahan akademik di kampus ini untuk
mempelajari tema yang baru ini.
Maka saya melewati hari demi hari membaca buku yang tidak
pernah saya baca sebelum. Mempelajari tema yang benar-benar baru di tempat yang
baru.
Di dalam hati saya, saya merasa ini semua worth it. Karena semua ini mempunyai
harga yang mahal. Selain saya perlu meninggalkan keluarga saya untuk sementara
waktu untuk fokus pada ujian transfer. Biaya untuk studi ini juga luar biasa
mahal, walau tentu saja itu bukan uang saya. Hehe Maka saya merasa memang saya
perlu mendapat hal baru dari studi ini.
Tanpa disangka saya bertemu dengan satu artikel tentang
Trauma Pascakalonial. Sesuatu yang baru bagi saya. Dan rupanya baru juga bagi
para supervisor saya, walaupun salah seorang dari supervisor saya adalah spesialis
dalam kajian trauma di universitas kami. Mereka mengakui bahwa mereka menanti
saya untuk mengajari mereka tentang teori itu.
Bidang ini asing dalam diskusi teologi, literaturnya sedikit
dan karena saya fokusnya di kajian Perjanjian Lama, sarjana Biblika yang bicara
tentang inipun masih jarang. Setelah terombang-ambing sana sini, akhir saya
menetapkan diri untuk memakai teori tersebut seperti perspektif dalam riset
saya.
Saya cukup gembira dalam perjumpaan saya dengan teori ini
karena selain dalam konteks Indonesia juga tidak banyak yang mendalami ini,
saya merasa ada banyak kemungkinan untuk mengeksplor ini lebih jauh bahkan
setelah saya lulus nanti.
Ternyata kemewahan akademik yang coba saya syukuri dan
kesendirian yang mencekam itu menuntun saya untuk masuk dalam kemungkinan baru.
--------------
Dari artikel sebelumnya mengenai Hidup di Inggris ini,
rupanya ada beberapa kesan yang membuat para pembaca merasa patah semangat
untuk lanjut studi.
Melalui catatan ini, mau saya sampaikan bahwa tidak ada
maksud saya untuk seperti itu.
Saya hanya ini memberi gambaran realistis mengenai studi
lanjut. Agar para pembaca yang berniat untuk lanjut studi, tidak kaget dan
kecewa ketika menjalani jalan yang berbatu ini.
Sepanjang persiapan saya untuk lanjut studi semenjak S1,
banyak buku cerita studi lanjut di berbagai negara yang saya baca. Di dalamnya
penuh dengan cerita manis nan indah tentang kehidupan lanjut studi entah dari
sudut pandang spiritual atau sekuler.
Saya hanya ini melengkapi berbagai cerita itu dengan
menawarkan perspektif yang realistis walau kadang pesimis tentang studi lanjut
kepada para pembaca. Tentu saja makna yang bisa digali dari cerita-cerita ini,
itu tergantung pembaca sendiri. Saya hanya memberi bahan masakan, para pembaca
yang bertugas untuk memasaknya jadi makanan seperti apa.
---------------
Di bagian Hidup di Inggris selanjutnya saya akan
memperlihatkan secara khusus bagaimana relasi saya dengan orang-orang Indonesia
di Leeds. Secara khusus ini penting bagi saya, karena memperlihatkan bagaimana
mental orang Indonesia itu unik dan kadang lucu.

Terimakasih atas sharing pengalamannya yang luar biasa Moreh, saya banyak belajar dan berefleksi
BalasHapus