Hidup yang tidak jelas tapi jelas



Masa sekolah menengah sungguh berkesan. Karena saya mengalami banyak perubahan besar dalam hidup. Masa itu juga menentukan bagaimana saya melangkah ke masa depan.
Walau saya merasa masa itu berkesan tapi sebenarnya banyak hal tak berguna yang saya lakukan. Kendati saya tetap aktif di lingkungan Gereja, tapi saya merasa jadi orang munafik.
Di rumah dan tempat ibadah, saya hidup seperti orang suci. Tapi di tempat lain saya banyak melakukan hal-hal aneh dan tercela. Kalau ditanya ke orang-orang di lingkungan saya, mereka akan menjawab saya orang yang saleh.
Sampai sekarang saya sebenarnya hidup dalam pandangan orang seperti itu.
Di sisi lain, saya sebenarnya memiliki prestasi akademis yang naik turun. Saya bukan orang yang selalu gemilang dalam nilai. Bahkan sejujurnya saya membenci nilai.
Karena itu, saya juga sangat membenci orang yang tergila-gila dengan nilai. Pengalaman ini penting, sebab membuka cakrawala berpikir saya dalam melihat hidup. Kita hidup bukan demi nilai, bahkan secara khusus saya belajar untuk nilai.
Pada waktu kecil, saya sempat mendapat peringkat yang baik secara akademis. Orang tua saya menganggap ini sebagai sesuatu yang penting untuk dipertahankan. Mereka berusaha mati-matian agar saya tetap memiliki peringkat satu. Maka dari situ hidup saya jadi seperti neraka.
Banyak orang melihat saya sebagai orang yang pintar. Tapi sebenarnya saya lebih cocok disebut sebagai orang yang tertekan. Saya sekolah semata-mata karena tuntutan sosial dan tuntutan orang tua agar jadi juara satu.
Sebenarnya saya tidak membenci sekolah. Saya sangat menikmati masa sekolah karena banyak ilmu kehidupan saya dapatkan. Pergaulan dengan  teman-teman, ilmu yang berguna juga kesempatan yang lebih dalam hidup. Saya rasa itu semua penting.
Tapi nilai selalu membuat hidup saya tersiksa. Saya menikmati masa sekolah. Tapi tiap kali waktu penerimaan raport, saya seperti berada di ujung tanduk.
Sekali saja saya tidak mendapat juara satu, maka saya akan dihajar seperti binatang. Hingga kini saya merasa sangat Trauma dengan pengalaman itu. Tuhan cukup baik dengan memberi saya beberapa kali juara satu. Tapi sisanya, neraka jahanam.
Seiring berjalannya waktu, saya merasa hidup yang mengejar-ngejar nilai itu memang percuma. Kalau saya mendapat nilai yang baik. Itu kebanggaan bagi orang tua, tapi sesungguhnya itu sangat rapuh.
Kita hidup tidak selamanya berada di atas. Akan ada masa ketika kita tidak akan menjadi yang terbaik. Memanjakan orang tua, sahabat, keluarga, pacar, pasangan dan orang lain dengan keberhasilan kita sesungguhnya itu adalah suatu kepalsuan.
Memaksakan diri kita untuk selalu jadi yang terbaik sebenarnya menyangkal keberadaan kita sendiri. Kita adalah manusia yang terbatas, kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Penyangkalan terhadap kenyataan itu membuat kita juga sering berbuat hal yang tercela.
Saya belum sampai melakukan penggelapan nilai, mencuri karya orang lain dst. Tapi saya merasa hidup begitu tersiksa kalau berpatokan pada nilai. Itu hidup yang palsu.
Maka semenjak saya mesti hidup tanpa orang tua (karena meninggal) yang memaksakan supaya saya punya nilai bagus lagi. Saya bertekad untuk menikmati sekolah tanpa peduli dengan nilai. Memiliki nilai bagus dari prioritas ke sekian bagi saya.
Awalnya pada waktu SMA saya benar-benar tidak peduli dengan belajar. Nilai otomatis jeblok. Tapi anehnya saya santai saja. Malah hidup jadi menyenangkan.
Saya sebenarnya tidak ingin sampai jadi jeblok sangat. Tapi ya mau bagaimana. Meski saya sempat menjadi utusan untuk mengikuti Olimpiade Matematika pada awal kelas satu. Sesudah tidak ada lagi urusan akademis lagi yang bisa saya sampaikan. Semua musnah. Haha
Hidup tanpa tujuan seperti itu, lebih kepada hidup yang penuh balas dendam. Sebelumnya saya hidup tertekan karena nilai, tapi sekarang tidak ada lagi yang menuntut. Beberapa teman yang pernah menyesalkan kenapa saya bisa begitu.
Itu bukan masalah bagi saya. Kebebasan dalam belajar adalah yang utama bagi saya. Pelajaran yang tidak menarik, tak akan saya lirik sekalipun. Belakangan secara teoritis, saya jadi tahu ternyata memang masalahnya pendidikan dasar dan menengah kita memang bobrok. Haha
Pendidikan kita dipenuhi dengan orang-orang yang terobsesi dengan nilai dan gelar. Tak jarang mungkin kita jumpai kalau ada orang-orang yang curang demi nilai. Semua itu karena memang masyarakat kita memuja semua itu.
Semua pengalaman selama sekolah itu turut membentuk saya untuk menjadi orang yang mencintai sekolah. Banyak waktu yang saya habiskan untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan akademis itu tidak terlalu penting bagi saya.
Kecintaan saya terhadap sekolah dan hal-hal yang berbau akademis nanti dimulai pada waktu mulai studi di Perguruan Tinggi. Pada masa pergolakan sebelum mulai kuliah itu, cita-cita saya untuk jadi pendeta sebelumnya belum goyah.
Saat saya ditanya akan melanjutkan studi ke mana, saya dengan tegas menjawab akan masuk Teologi. Ini menarik, sebab pergulatan hidup rupanya tidak membuat saya lupa dengan impian. Walaupun impian itu akhirnya akan berubah. (Bersambung)

Komentar

Postingan Populer