Hidup di Inggris #3 : Sedikit tentang konteks saya
Lanjutan dari Hidup di Inggris #2
![]() |
| Gambar cuma pemanis, tidak ada hubungan langsung dengan isi artikel ini. hehe |
Sebelum saya lanjut dengan kisah keluarga kami, rasanya lebih baik saya sedikit menjelaskan terlebih dahulu, sistem program PhD yang saya lalui. Karena sistem itu berpengaruh besar pada kesehatan mental saya.
Tidak ada orang yang memberi tahu saya sebelumnya. Dan rasanya (belum saya teliti), Indonesia punya sistem doktoral yang berbeda.
Karena itu, kesan saya ketika berinteraksi dengan para mahasiswa Doktoral di Indonesia, membuat saya punya gambaran yang sangat berbeda dengan yang saya jalani di PhD ini.
Saya memulai studi dengan mencari calon supervisor, barangkali bisa diartikan pembimbing, tapi sebenarnya bukan pembimbing dalam arti di Indonesia. Supervisor BUKAN GURU. Ini penting. Nanti saya jelaskan.
Setelah mendapat calon supervisor, saya mendaftar secara formal dengan berbagai berkas yang dibutuhkan.
Dan akhirnya saya diundang wawancara online oleh calon supervisor tersebut dan kepala program studi (kalau di Indonesia). Singkatnya saya diterima, semua indah. Mungkin saya akan tulis secara khusus soal ini.
Program studi saya namanya School of Philosophy, Religion and History of Science. Sesuai namanya, walau saya akhirnya menjalani studi PhD in Theology and Religious Studies, tapi program ini semata berdasar riset dan tidak semata-mata untuk Gereja seperti pendidikan yang saya jalani semua. Programnya akademik sepenuhnya.
Mungkin ini dasar yang membedakan dengan sebagian program Doktoral Teologi di Indonesia.
Waktu mencari supervisor dan melamar ke kampus, saya sudah memiliki proposal penelitian yang menurut saya sudah wow.
Setelah memulai studi, dengan akses yang berlimpah untuk mencari literatur, ternyata topik dalam proposal tersebut sudah banyak sekali yang menulis.
Kalau bahasa orang Manado, itu so pece. Maksudnya topik itu sudah murahan. Hehe
Di Indonesia, karena banyak penelitian yang terisolasi dari dunia luar. Di satu sisi, karena faktor akses yang terbatas juga.
Saya merasa penelitian itu baru, ternyata baru di Indonesia saja. Itu sudah jadi topik hangat sejak belasan tahun lalu di luar negeri. Inilah saat penderitaan saya dimulai.
Di Inggris (rasanya juga di dunia barat lainnya), PhD dituntut untuk menemukan originality. Maksudnya, penelitian PhD kita harus original, artinya tidak pernah dipikirkan atau minimal tidak pernah ditulis orang lain.
Penderitaan mental saya makin bertambah ketika model “pembimbingan” di Inggris sangat berbeda dengan yang saya alami selama ini. Kalau saya tadi berkata supervisor itu BUKAN GURU. Benar sekali begitu.
Dalam salah satu workshop penelitian untuk PhD, saya pernah bertanya ke fasilitatornya. Bagaimana saya bisa meneliti sesuatu yang tidak pernah diteliti sebelumnya, sementara supervisor saya adalah orang yang sudah berpuluh tahun hidup berpikir tentang itu.
Sebab memang kesuksesan awal seorang Mahasiswa PhD adalah menemukan topik penelitian yang tidak dimengerti oleh para supervisor (superv utama dan co-superv.).
Makin asing di telinga para ahli yang sudah bertahun-tahun meneliti tentang itu, makin bagus topik penelitian kita. Tentu saja ini masih di bidang yang sama.
Saya benar-benar terombang-ambing selama beberapa bulan, dalam proses adaptasi ini. Belakangan ketika saya jumpa dengan alumni PhD yang ada di Inggris ini, PhD itu katanya bukan sekolah.
Yang sekolah itu hanya
Sarjana dan Magister. PhD itu lebih bersifat training.
Mungkin sedikit penjelasan tentang ini akan membantu.
Setelah tiba di Inggris dan berproses dalam dunia akademik di sini, ternyata saya salah memahami PhD. Selama ini setahu saya S3 adalah puncak studi.
Kata orang, setelah S3 tidak ada sekolah lagi. Itu gelar akademik tertinggi. Ternyata isi program sesungguhnya bukan begitu.
PhD justru adalah tingkat paling dasar dari dunia akademik. Program ini sengaja diadakan untuk mempersiapkan para calon ilmuwan yang nantinya akan berkarir di dunia akademis.
Kalau selama S1-S2, tuntutannya adalah mengetahui dan beragumen dalam ranah keilmuwan tertentu. Tugas seorang PhD adalah menemukan sesuatu yang tidak pernah ada di dunia akademis sebelumnya. Inilah tugas seorang ilmuwan.
Jadi wajar saja memang Mahasiswa PhD itu sering bingung, karena tugasnya memang berpikir tentang sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh orang lain.
Mungkin karena adaptasi saya dengan model studi yang baru ini lumayan lama, profesor sampai berkata “You have to guide us, Yan !” Ini seperti sengatan listrik bagi saya.
Sebab saya sendiri bingung mau bagaimana, ini malah saya disuruh membimbing mereka. Jadi realitasnya, seperti kata profesor saya itu, SAYA YANG JADI PEMBIMBING MEREKA ! Tambah stress akutuhhhhhh…
Setelah saya renungkan, metafora yang cocok untuk menggambarkan situasi ini adalah sebagai berikut. Minimal dalam kasus saya.
Studi PhD itu ibarat saya sedang terlibat dalam proyek penelitian jangka panjang, 3-4 tahun. Sebagai seorang Mahasiswa PhD, saya bertindak sebagai Kepala Proyek, atau tepatnya Kepala Peneliti.
Sebab saya yang memulai penelitian ini, saya yang meneliti topik itu, saya yang mengumpulkan data, saya yang menulis disertasi atau PhD thesis pada akhirnya.
Posisi para supervisor itu sebenarnya lebih sebagai Asisten Peneliti. Tugas mereka adalah membantu saya supaya penelitian saya bisa selesai. Titik. Itu saja. Nah, proses membantu ini yang isinya banyak hal.
Sekarang apakah bisa dibayangkan bagaimana kesulitan saya ? Kalau belum, saya tambahkan lagi penjelasan.
Para beliau supervisor ini, walaupun memang niatnya membantu, tapi mereka ahli bro. Jadi saya yang bahasa inggrisnya amburadul ini, tiap kali bimbingan selalu dibantai bokk...
Sudah bingung mau ngapain, mereka juga tidak mau intervensi soal topik penelitian saya (karena regulasi di Inggris begitu).
Di Jerman, profesor katanya bisa intervensi suruh mahasiswa PhD mengambil topik tertentu, di Inggris tidak bisa bro. Makin tertekanlah saya. Mana saya juga tidak punya teman untuk diskusi.
---------
Karena ada pembaca blog ini yang rupanya sudah terintimadasi soal cerita saya tentang uang yang tidak didapat itu. Saya mungkin bisa menambahkan catatan tentang itu di sini.
Sistem PhD sebagai ranah pelatihan calon ilmuwan mendapat tempat khusus di Inggris. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapat kesempatan itu.
Sebenarnya walaupun saya tidak seandainya tidak mendapat beasiswa LPDP, tiap universitas yang ternama itu menyediakan beasiswa untuk uang studi, dana hidup keluarga, dana riset lapangan, dana untuk ikut konferensi di seluruh dunia dan berbagai fasilitas akademik mewah untuk mahasiswa PhD.
Sejauh ini saya tidak menemukan mahasiswa PhD yang membiayai studinya sendiri, karena memang mahal. Sekedar info ya, uang studi (di luar biaya hidup) yang diminta universitas saya itu Rp. 2,9 Miliar lebih. Jadi uang bukanlah masalah bagi mahasiswa PhD di Inggris.
Ini juga punya konsekuensi bagi Mahasiswa PhD. Walau berbagai kemudahan sudah diberi termasuk tidak wajib mengajar (di Amerika misalnya, beberapa mahasiswa yang dibiayai kampus, wajib mengajar juga di kampus tersebut), tapi standar yang diminta sangat tinggi.
Inilah kenapa universitas berani bayar mahal. Makin banyak fasilitasnya, makin tinggi tuntutannya.
Tidak sedikit mahasiswa PhD yang gagal karena tuntutan yang tinggi itu. Beberapa teman PhD yang memulai studi bersamaan dengan saya mengeluh, betapa memulai studi PhD membuat mereka seperti orang bodoh.
Nah kalau mereka yang lulusan kampus ternama dunia Oxford, Stanford, Cambridge dan beberapa kampus elit di Inggris lainnya sudah seperti itu, APA KABAR SAYA ? HAHAHA
Bingung kan ? Saya apalagi.
Bersambung.


Wahahha asik walau sedih juga. Tetap semangat Moreh
BalasHapusWahahha asik walau sedih juga. Tetap semangat Moreh
BalasHapusJadi pingin main ke Inggris
BalasHapus