Hidup di Inggris #2 : Transisi yang keras
(Lanjutan dari Hidup di Inggris #1)
Situasi terancam akan gagal itu, makin diperumit dengan ketidakmampuan saya untuk mengerti British English.
Selama ini, saya belajar bahasa Inggris dengan mengandalkan buku dan YouTube. Saya membaca buku bahasa inggris dan menonton kuliah virtual yang tersedia gratis di media sosial tersebut.
Memang saya mengekspos diri saya dengan American English. Karena pergaulan saya selama ini dengan teman-teman yang kuliah di Amerika.
Selain itu, memang rasanya American English yang dominan di Indonesia. Mulai dari film, lagu sampai bahasa dunia akademik, orang cenderung ke English versi itu.
![]() |
| Salah satu pertemuan virtual di antara para mahasiswa baru dan dosen. Sumber : Dok. pribadi menggunakan applikasi MS Teams |
Momen ketika saya masuk ke ruang virtual untuk mengikuti “Induction meeting”, bahasa gaulnya “Ospek” untuk mahasiswa baru sungguh berkesan.
Saya terpaku diam tidak bisa merespon apa-apa ketika saya mendengar dosen-dosen bicara dalam British English a la Inggris Utara, yang sangat asing di telinga (ternyata English ada banyak macam gaess).
Selama pertemuan itu, hampir semua pembicaraan yang ada, tidak bisa saya mengerti. Itu momen yang sangat melelahkan secara mental.
Pertemuan jam 10 malam sampai 1 malam (karena perbedaan waktu Inggris-Indo) ditambah dengan situasi asing yang benar-benar asing sungguh menguras energi.
Malam itu saya tidur nanti bangun jam 4 sore besoknya. Saya sendiri kaget.
Efek negatifnya bagi mental saya adalah saya jadi tidak berani untuk bicara dalam forum manapun. Bahkan saat pertemuankonsultasi bertiga dengan kedua pembimbing, saya sering diam dan manggut2 saja.
Saya mengalami “mental breakdown”.
Tiap kali mengikuti pertemuan manapun di ruang virtual. Saya mengalami kelelahan mental yang terasa berat. Karena saya terus merasa tertekan, tidak mengerti dengan apapun yang ada di situ.
Situasi yang menekan ini membuat saya serba salah. Saya ingin bergabung dengan komunitas akademik Leeds, tapi saya tidak mampu. Sementara saya sendiri tidak punya teman diskusi di Bitung, tempat saya tinggal.
Akhirnya penelitian saya mandeg alias jalan di tempat. Atau lebih tepatnya menjadi makin tidak jelas.
Ini diperkeruh dengan Kota Bitung yang seringkali hilang signal internet. Puncaknya ialah ketika bulan Desember 2020 saya melaksanakan pertemuan konsultasi dengan para pembimbing, yang seyogyanya dilaksanakan sekali dalam tiap bulan. Saat saya baru masuk ruang virtual, listrik mati dan signal internet hilang.
Koneksi terputus.
Saya betul-betul merasa tersesat dan rupanya hal yang sama dialami juga oleh kedua pembimbing. Di tengah studi yang kacau, pertemuan yang cuma sebulan sekali dan tidak bisa di atur ulang jadwalnya karena kesibukan mereka, harus terbuang sia-sia.
Saya merasa kacau waktu itu. Yang diperparah dengan semua harus kutanggung sendiri. Semua orang tidak bisa mengerti apa yang saya alami karena mereka pikir saya pintar. Superhero. Padahal saya hancur di dalam.
Berbagai pikiran berkecamuk dalam pikiran saya.
Ketakutan gagal studi dan harus mengganti uang pemberi beasiswa (ratusan juta sampai milyaran) yang dibayarkan untuk saya. Itu artinya saya harus berhutang sampai mungkin anak-cucu saya wajib membayarkan.
Rasa kecewa sangat karena bukan seperti ini studi di Luar Negeri yang saya bayangkan selama ini. Nama saja kuliah PhD di Inggris tapi saya hanya terjebak di Kota Bitung, tanpa sesungguhnya bisa menikmati fasilitas yang dibayarkan sangat mahal itu.
Saya terus-menerus merasa rugi sekali. Untuk sekedar infor, mahasiswa Non-Eropa itu biaya studinya hampir tiga kali lipat dari mahasiswa Eropa, walaupun di program yang sama.
Rasa sangat sedih. Karena saya tahu, satu-satunya cara keluar dari kemelut ini adalah saya berangkat sendiri ke Leeds. Saya tidak mau kehilangan keluarga saya.
Meninggalkan istri saya yang sampai kini terus kelelahan secara mental dan fisik mengurus anak kami sendirian di masa pandemi ini. Meninggalkan anak saya yang belum setahun umurnya itu. Sedih sekali.
Rasa kacau dan terasing sekali. Karena harus menanggung semua ini sendiri.
Malam itu saya menangis sejadi-jadinya tanpa bisa bicara banyak. Istri saya juga menangis melihat saya.
Anak kami yang masih beberapa bulan itu juga ikutan menangis karena melihat kami menangis. Kami hanya berpelukan untuk meredam kepahitan hidup ini.
Semua sangat buram.
-----------
Setelah saat ini saya merenungkan kejadian itu, ada satu hal yang saya sadari soal kesenjangan pendidikan Inggris dan Indonesia. Yaitu “well-being”.
Keterasingan yang saya alami saat itu saya sadari karena pergumulan saya itu tidak dianggap krusial oleh orang Indonesia. Rasa depresi saat studi itu bukanlah persoalan berarti bagi orang Indonesia.
Sepanjang saya studi dari S1 sampai S2, persoalan studi itu ditanggung sendiri oleh mahasiswa. Paling tinggi kalau masalah finansial, ya pergi curhat ke pimpinan kampus. Kalau masalah mental, itu urusan mahasiswa sendiri. Apalagi saat pandemi begini.
Bagi orang Indonesia, punya masalah mental itu artinya KAMU LEMAH !
Sangat berbeda dengan sistem di Inggris. Semua perangkat diarahkan untuk hanya sekedar “say Hi”, mengecek keberadaan kita. Mulai dari staf admin pascasarjana, mentor studi (Dosen Pembimbing Akademik kalau di Indo), senior PhD, rekan sejawat sampai dosen pembimbing.
Di Indonesia, saya tidak pernah bisa membayangkan ada Dosen Pembimbing yang bersedia mendengar curhatan kita.
“Well-being” mahasiswa itu sangat diutamakan oleh kampus di Inggris. Mungkin karena mereka menganggap mahasiswa yang bunuh diri itu sesuatu yang serius. Di Indonesia, mahasiswa yang bunuh diri itu didiamkan begitu saja.
Suatu waktu ketika ada rekan kami yang bunuh diri, di dalam salah satu grup WhatsApp waktu saya studi di Jogja, ketika saya mempersoalkan respon kampus yang diam terhadap teman yang bunuh diri itu, teman saya malah membantah saya. Dan menganggap itu masalah pribadi orang itu. Semua cerita selesai ketika menyebut itu masalah pribadi.
Refleksi saya waktu itu, walaupun sangat tertekan, saya tidak sampai tiba pada suicidal thought karena support system kampus yang walaupun terbatas karena pandemi dan jarak yang jauh, tapi punya inisiatif seperti itu. Hal itu makin terasa saat saya tiba di Inggris.
----------------
Lanjut cerita, kondisi mental yang pelik itu mendorong kami sekeluarga untuk membuat keputusan yang nekat. Yang sampai kini tidak didukung oleh banyak orang.
Bersambung ke Hidup di Inggris #3


Semangat terus Moreh..
BalasHapusTetap semangat Moreh
BalasHapus