Hidup di Inggris #1 : Awal yang tidak terlalu awal
Saya menulis ini setelah hampir sebulan tiba di Inggris. Waktu itu saya tiba di Manchester Airport, UK tanggal 25 Februari 2021 setelah melewati perjalanan hampir 20 jam dari Indonesia.
Setelah menjalani isolasi 10 hari di Manchester, saya akhirnya bisa pindah ke kota tempat studi saya, Leeds. Walaupun sebenarnya saya sudah memasuki bulan ke-enam sejak memulai studi PhD, rasanya saya baru memulai studi setelah tiba di kampus University of Leeds, UK.
Banyak hal yang membuat saya terlambat berangkat ke Inggris. Idealnya, setiap mahasiswa harus tiba di lokasi studi sebulan sebelum memulai studi, menurut aturan beasiswa LPDP yang membiayai saya.
![]() |
| Gambar antrian untuk pengecekan dokumen imigrasi di Manchester Airport. Sumber : Dok. pribadi |
Pertama, datangnya pandemi covid-19 walaupun kadang menjadi alasan yang dibuat2 untuk segala hal. Tapi dalam kasus saya, pandemi ini sangat berpengaruh. Sebab yang awalnya kami diwajibkan untuk tiba di lokasi studi lebih awal, tapi karena kondisi ini, pemberi beasiswa malah menganjurkan untuk tunda waktu untuk mulai studi.
Saya tentu saja tidak mengambil opsi itu. Karena saya sudah tidak sabar ingin mulai studi setelah lama memperjuangkannya. Tapi saya sendiri tidak bisa langsung berangkat karena pusing dengan keluarga yang tidak bisa ikut dan dilarang berangkat oleh pemberi beasiswa pada awal pandemi.
Akhirnya saya sempat mendiamkan persoalan ini dan memilih untuk tunda berangkat beberapa bulan sejak memulai studi. Jadilah status saya sebagai Mahasiswa PhD jarak jauh.
Kedua, setelah saya menyadari studi jarak jauh sangat merugikan saya dan keluarga saya, akhirnya memutuskan akan berangkat ke Inggris. Waktu akan berangkat, para pembimbing saya di University of Leeds, dengan tegas melarang saya berangkat karena mereka melihat situasi Inggris yang masih tidak bisa mengontrol pandemi.
Itu bukan hambatan terbesar saya karena setelah panjang lebar menjelaskan hambatan studi saya, akhirnya mereka mengizinkan saya berangkat. Yang paling menentukan sebenarnya adalah soal dana.
Saya baru pertama kali berangkat ke luar negeri. Otomatis saya tidak mengerti berbagai macam prosedur termasuk dana yang diperlukan untuk bisa masuk ke negeri lain. Saya hanya mengandalkan buku panduan pencairan beasiswa yang menjelaskan dana apa saja yang bisa kami sebagai awardee terima.
Ternyata beberapa dana sebelum keberangkatan ditanggung sendiri (walaupun nanti diganti oleh LPDP), dan itu memerlukan dana Rp. 40 juta lebih !
Dalam kepelikan itu, saya berdiam selama dua bulan untuk menunggu datangnya mukjizat yang bisa menolong saya.
Situasi studi PhD jarak jauh yang awalnya dijalani dengan iman dan semangat, lama kelamaan berubah menjadi lubang depresi yang terus mengintai saya dan para pembimbing. Karena sudah tiga bulan jalannya studi, tapi saya belum ada progress yang berarti. Ini situasi yang mengkhawatirkan saya dan terutama para pembimbing.
University of Leeds dalam sejarahnya merupakan kampus rakyat. Sebab maksud awal pendiriannya adalah memberi akses studi untuk para masyarakat kelas menengah ke bawah di Inggris yang tidak bisa mengakses pendidikan tinggi. Sementara masyarakat Kelas atas atau sebutannya kelompok Borjuis mendapat pendidikan di University of Cambridge, Oxford dst.
Sampai sekarang saya kira masih seperti itu. Walaupun sudah punya jalur afirmasi, tapi kampus-kampus elit itu tetap didominasi oleh masyarakat yang elit juga. Saya kira kasus yang sama juga berlaku di Amerika Serikat, seperti Ivy League.
Tuntutan untuk terus berkembang, nampaknya membuat kampus rakyat seperti University of Leeds juga perlu menaikkan standar akademik supaya bisa bersaing dengan kampus-kampus elit di berbagai Negara. Inilah yang membuat UoLeeds menjadi kampus riset yang sejajar dengan berbagai kampus besar dunia.
Standar akademik yang tinggi itu menurut saya tidak membuat justru UoLeeds lupa dengan jati dirinya. Buktinya Mahasiswa dengan kemampuan akademik rendah seperti saya (IETLS 6.5) bisa juga diterima masuk sebagai Mahasiswa PhD.
Yang jadi persoalan adalah untuk menjaga standar akademik yang tinggi itu, UoLeeds membuat sistem yang mendorong mahasiswa berkembang namun tetap membuka peluang untuk mahasiswa standar rendah seperti saya bisa masuk. Sistem itu ialah ujian transfer di akhir tahun pertama.
Mahasiswa PhD pertama itu disebut Provisional PhD. Artinya, masih dalam pengawasan alias “anak bawang”. Nanti setelah lulus ujian transfer di akhir tahun pertama, barulah bisa disebut sebagai Kandidat PhD. Inilah yang membuat saya dan para pembimbing menjadi gelisah, galau dan gamang.
Sudah tiga bulan mulai studi, saya belum jelas mau riset tentang apa. Sementara waktu ujian transfer itu makin mendekat. Saya terancam gagal !
Saya perlu berbuat sesuatu.
(bersambung di Hidup di Inggris #2)


Jadi penasaran lanjutannya.. tetap semangat Moreh..
BalasHapusLebih ditunggu daripada episode drama korea 😁👍🏻
BalasHapus