Melampaui Batas Kreativitas


Pagi yang tidak terlalu dingin. Namun banyak kendaraan yang sudah lalu lalang. Semalam kami baru saja kembali dari Manado untuk pulang ke rumah di Kota Bitung untuk mempersiapakan pernikahan yang tinggi beberapa saat lagi. Setelah diperingatkan oleh kekasih : "Hati-hati saat membeli buku, banyak buku yang tidak dibaca.", saya akhirnya dua hari lalu membeli buku. Maksud dari kata "hati-hati" itu adalah saya harus mawas diri supaya tidak membeli buku atau kalaupun membeli buku, tidak boleh banyak. Karena sebelumnya banyak buku yang dibeli tidak dibaca. Tentu ini perlu diklarifikasi. Pertama, buku-buku yang saya beli sebagian besar sudah saya baca. Tentu ini wajar jika ada ungkapan seperti itu dari dia. Sebab saya membaca bukan untuk dilaporkan kepadanya. Saya tidak membaca bukan untuk dilihat olehnya. Tapi mungkin pikiran ini perlu saya rubah. Sebab menarik  juga kalau setiap kali saya membaca buku saya akan bercerita kepadanya. Keren juga rasanya kalau saya selalu membuat book report kepada kekasih. Kedua, banyak pengetahuan yang saya dapatkan dari buku yang saya terapkan dalam kehidupan. Banyak buku yang saya beli sebenarnya memang dalam waktu lama tidak saya baca sampai selesai karena saya tidak mengerti.
Kenyataanya banyak dari buku-buku itu yang bisa saya mengerti setelah beberapa tahun lagi saya baca. Misalnya, buku Filsafat Fragmentaris karangan F. Budi Hardiman. Buku ini saya beli ketika saya masih semester tiga waktu kuliah S1. Itu adalah masa ketika saya baru mencoba membangun rasa cinta terhadap buku sehingga saya sembarang membeli buku yang judulnya saya rasa keren. Sesungguhnya waktu itu saya tidak mengerti maksud dari isi buku tersebut. Hingga saya lulus S2 artinya sekitar lima tahun kemudian , saya baru bisa mengerti isi buku itu sebenarnya bicara tentang kelemahan-kelemahan dari pemikiran para filsuf yang tidak memperlihatkan keutuhan dalam berpikir. Banyak di antara para filsuf yang pemikirannya justru kontradiktif dan tidak universal. Ini memperlihatkan bahwa isi buku tertentu memang butuh tingkat pengetahuan tertentu supaya bisa dimengerti.
Kembali ke persoalan warning dari kekasih itu, bagi saya tidak perlu ditafsirkan dan dimaknai bahwa saya tidak boleh membeli buku. Adalah sesuatu yang krusial bagi saya untuk membeli buku. Sehingga kalaupun memang maksud dari kekasih itu adalah agar saya tidak membeli buku, maka hampir bisa dipastikan kalau saya tidak akan mempedulikannya. Saya bicara panjang lebar soal ini karena perkara ini punya kaitan entah langsung atau tidak langsung dengan isi buku yang saya beli yaitu "Kreativitas dan Keberanian." Isi buku ini tentang bagaimana kreativitas itu sebenarnya dibangun atas dasar keberanian. Bagi Rollo May, penulis buku ini, seseorang yang memiliki keberanian yang sehat secara psikologis adalah orang yang berani walaupun di saat yang bersamaan ia juga punya keraguan. Saya sendiri sebenarnya ragu juga kalau memang buku yang saya beli akan saya baca sampai habis atau tidak. Tapi inilah yang disebut keberanian menurut May.
Secara umum, Rollo May memang bicara tentang bagaimana kreativitas memang membutuhkan keberanian. Orang yang kreatif memang orang yang berani. Orang kreatif hadir dalam ruang dan waktu yang seringkali tidak menerima keberadaan mereka. Eksistensi kreativitas mereka seringkali ditolak karena mereka tidak berpikir sesuai zamannya. Mereka berpikir melampaui orang-orang yang hidup di zamannya. Kreativitas yang sesungguhnya muncul karena keinginan untuk menjelajah ruang-ruang yang ditakuti selama ini. May memperlihatkan bahwa orang kreatif hidup bukan dengan lantang menyuarakan pemikirannya semata. Tapi mereka justru hidup dengan visinya sendiri yang mendahului pemikiran orang-orang di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang bosan dengan yang berbau konvensional dan selalu haus dengan hal yang baru. Karena ini mereka sering disebut sebagai pembangkang. Kreativitas selalu hadir mendobrak segala yang biasa pada masanya. Sesuatu tidak akan disebut kreatif tanpa ada terobosan yang berbeda dari khalayak ramai. Semua ini membutuhkan keberanian. Secara psikologis, May memperlihatkan bahwa para seniman yang hidup pada zamannya memang berkutat dengan dirinya sendiri. Banyak di antara mereka yang bergumul sangat berat dengan jiwanya. Inilah mengapa sebenarnya kreativitas para seniman itu sebenarnya muncul dari dalam dirinya sendiri. May mengambil istilah dari Joyce, salah seorang sastrawan di Amerika, bahwa kreativitas adalah hasil dari "bengkel jiwa."
Kreativitas memang butuh keberanian. Dalam ilmu yang saya dalami, banyak orang yang hidup dengan mengulang pengetahuan lamanya tanpa ada kreativitas untuk mencoba hal yang baru. Perguruan Tinggi menurut saya adalah salah satu penyumbang terbesar bagi hambatan untuk kreativitas yaitu "takut mencoba hal yang baru." Belum lama ini saya harus "berperang" untuk meloloskan salah satu mahasiswa bimbingan saya yang menulis skripsi dengan mencoba hal yang baru. Satu-satunya alasan sehingga mahasiswa itu coba digagalkan adalah karena ia sendiri belum menguasai metode tersebut. Hal yang baru itu memang butuh waktu untuk dipelajari. Bisa dibayangkan, seorang mahasiswa yang hampir empat tahun belajar metode lama yang diulang dari zaman ke zaman namun ketika menulis Tugas Akhir memakai metode yang ditemukannya tentu kita tidak bisa mengharapkan hasil yang sempurna. Mahasiswa ini sendiri pasti akan memahami metode itu dengan kemampuan yang ia miliki. Ini semua membutuhkan keberanian. Dari teman-temannya, ia memang menonjol sendiri karena coba dengan kreatif menggunakan metode baru yang ia pelajari sendiri tanpa pernah diajari sebelumnya. Para seniman dalam berbagai bidang juga seperti itu, tanpa ada orang-orang yang menerobos batas-batas keilmuan, kita tidak akan menikmati perkembangan keilmuan baru seperti sekarang ini. Dengan demikian, memang seperti yang dipaparkan oleh Rollo May, bahwa batas kreativitas justru ada pada saat ketika kita coba terus melampaui batas-batas yang ada.
Sekedar omong-omong saja. Saya belum selesai baca buku itu. hehe    

Komentar

Postingan Populer