Cerita Risetku #3 Tentang Writer’s block

Setelah sekian lama saya tidak bercerita mengenai perkembangan studi saya, akhirnya saya mulai lagi. Saya menulis ini ketika saya sudah berada di awal tahun ketiga PhD. Sesungguhnya dari sekian tahun saya menjalani studi ini, tidak banyak yang berubah. Malah sebenarnya di tahun ketiga ini saya harus berhadapan dengan musuh terbesar yang menghantui saya sejak awal saya memulai proses studi PhD ini. Writer’s block namanya. Saya belum menemukan istilah terjemahan bahasa Indonesia yang tepat ungkapan dalam bahasa Inggris tersebut. Istilah itu menyimpan makna tentang satu kondisi kehidupan seseorang yang ingin menulis tapi mengalam stagnansi. Stagnansi itu terbagi tiga jenis, tidak bisa memulai menulis, sudah mulai menulis tapi tak bisa lanjut menulis, dan sudah banyak menulis tapi tidak bisa menyelesaikan tulisannya. Saya sendiri masih terkait dua jenis di awal itu. Sejak tahun pertama hingga tahun ketiga ini, saya merasa saya tidak bisa mengeluarkan potensi terbaik saya. Itu juga diamini oleh dosen pembimbing studi saya. Dua tahun pertama, saya masih bisa bertahan dengan kemampuan menulis saya yang sangat pas-pasan. Yang setelah saya renungkan sebenarnya karena ada sesuatu di mental saya yang menghambat saya. Hingga tahun ketiga ini saya kemudian mulai merasa panik luar biasa karena setelah dievaluasi oleh pembimbing, saya stagnan. Menulis jelek, seperti terburu-buru dan tidak bisa fokus. Sejujurnya itu semua adalah hasil dari berjam-jam menatap laptop tanpa bisa menghasilkan tulisan. Saya wajib memasukkan tulisan setiap bulan kepada dosen pembimbing untuk kemudian didiskusikan dalam pertemuan bulanan. Tapi sebagian besar waktu dalam satu bulan itu saya habiskan dengan bengong di depan laptop. Ini menjadi sangat parah di tahun ketiga. Saya seringkali serabutan asal-asalan kirim tulisan ke dosen pembimbing, hingga di tahun ketiga ini dosen pembimbing pun mengungkapkan frustasinya melihat perkembangan studi saya. Saya akhirnya jatuh sakit. Lebih karena tekanan mental yang saya alami dari rasa panik luar biasa yang menekan batin saya. Saya pun merefleksikan secara serius kondisi batin saya. Saya berdiskusi dengan tim dosen pembimbing soal bagaimana saya selanjutnya. Mereka pun meyakinkan bahwa saya masih punya waktu utk memperbaiki diri. Saya coba mulai menulis secara perlahan, dan percaya bahwa di sisa waktu ini, saya hanya perlu berjuang sebisa mungkin, biar hasil dari semua perjuangan ini ditentukan oleh Tuhan. Dalam proses pemulihan batin saya, datanglah buku dari Victoria Nelson yang berjudul “What is Writer’s Block?” Buku yang sudah cukup tua, tapi dari situ saya akhirnya mendapatkan jawaban dari persoalan saya tidak bisa menulis dengan baik dan terus-terusan merasa panik. Rupanya memang yang saya alami ini adalah proses yang lumrah terjadi pada orang-orang yang menganggap proses menulis itu sebagai sesuatu yang serius. Saking seriusnya menulis, orang seperti saya ini akhirnya jadi takut untuk menulis. Nelson mengatakan bahwa persoalan Writer’s block seperti ini bisa muncul karena jiwa kita melakukan perlawanan ketika kita menulis. Ketika menulis itu menjadi sesuatu yang menakutkan, super serius dan kaku, maka kita kehilangan sense of playing dari proses menulis ini. Tentu tidak semua orang harus menjadi penulis. Tapi orang-orang seperti saya melihat proses menulis itu sebagai sesuatu yang menyenangkan dan memuaskan sehingga saya sudah mulai menulis selama ini. Sebelum menulis menjadi sesuatu yang se-serius sekarang di PhD ini. Saya bisa mendapatkan beasiswa karena menulis. Saya bisa membiayai keluarga saya di Inggris ini karena menulis. Saya bisa mendapatkan gelar PhD karena menulis. Menulis menjadi sesuatu yang sangat serius. Menurut Nelson, inilah salah satu penyebab Writer’s block. Maka yang perlu dilakukan menurut Nelson adalah mengembalikan visi menulis sebagai sebuah permainan. Saya bermain lewat menulis. Nelson memberi salah satu tips untuk mengembalikan jiwa bermain dalam menulis adalah dengan mulai menulis bebas. Saya memilih menulis bebas lewat blog ini. Dan memang benar, saya mulai merasa nikmat menulis dengan menulis bebas seperti ini. Menulis bebas sesuai kehendak hati dengan tujuan membangkitkan jiwa bermain dalam menulis. Rasa bermain ini yang perlu dibawa dalam proses menulis berbagai jenis tulisan lainnya. Menulis tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan. Menulis bisa sangat menyenangkan, kalo kita melihatnya sebagai permainan. Semoga kita semua bisa terus merasakan jiwa bermain kita dalam menulis. Menulis itu bermain. Selamat melanjutkan permainan.

Komentar

  1. Kebebasan menulis.... terimakasih curhatannya moreh, semangat terus dalam perjuangan

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak sudah memberi satu tips berharga bagu saya dalam mengatasi writer's block ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer