Bersahabat dengan kegagalan : Pelajaran dari 1 kali ditolak Beasiswa dan 11 kali ditolak Universitas

 Kalau ditanya satu hal yang menjadi hikmat hidup dari perjuangan dalam dunia akademik, saya cuma bisa bilang, berteman dengan kegagalan.

Sepanjang perjalanan yang lebih kurang 10 tahun yang saya tempuh hingga kini menjadi mahasiswa PhD di University of Leeds, Inggris, hidup selalu berlimpah kegagalan.

Saya lahir, besar dan menempuh pendidikan dasar hingga tahap S1, di Sulawesi Utara. Entah bagaimana, masa muda yang indah itu meninggalkan satu keinginan dalam hati untuk studi ke luar negeri.

Di awal cita-cita itu saya harus menerima kenyataan bahwa di kota tempat saya tinggal, Kota Bitung, tidak ada tempat kursus bahasa inggris. Dulu sekali, ketika masih SMP saya ingat pernah ikut kursus, tapi belum lama kemudian, kursusan itu akhirnya tutup.

Waktu studi S1, saya pernah mengikuti “short course” yang diampu oleh Miss Kim, orang Korea Selatan yang bekerja untuk sementara waktu di kampus kami. Tapi rasanya itu tidak cukup membekali saya.

Akhirnya di tingkat akhir studi S1, saya memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di Jawa, karena saya merasa belum cukup mumpuni untuk langsung lanjut ke Luar Negeri. Belakangan saya tahu, pemikiran seperti itu bisa muncul karena saya belum mengerti jalur yang perlu ditempuh untuk S2 Luar Negeri.

Ternyata untuk lanjut S2 ke Jawa pun saya terseok-seok. Saya gagal diterima pada percobaan pertama, tahun 2013. Lalu saya harus menunggu setahun mempersiapkan diri.

Kegagalan itu cukup mengejutkan saya. Dalam proses persiapan itu, saya merenungi diri bahwa saya memang perlu gagal agar tidak pongah.

Yang paling penting, di balik setiap kegagalan itu membuat saya merasa bersyukur sangat karena ketika diterima setahun kemudian saya hampir tidak percaya.

Alasan saya gagal waktu itu, alasannya saya belum mumpuni secara akademik dan dari kemampuan bahasa inggris. Inilah yang membuat saya selama kuliah S2, bersyukur dengan cara menikmati surga akademik di Jogja.

Setiap kesempatan ikut seminar, workshop, pelatihan bahkan ikut kuliah di beberapa kampus saya nikmati dengan sungguh.

Tanpa saya sadari, iklim akademik jogja yang memaksa kami untuk menelan literatur berbahasa inggris membuat kemampuan berbahasa inggris saya jadi meningkat drastis.

 Semua semangat itu bisa muncul karena saya pernah gagal. Saya merasa ini kesempatan sekali seumur hidup. Perjalanan untuk S2 membuat saya bisa selalu berpikir untuk memanfaatkan kesempatan yang ada.

Selama studi saya sendiri berusaha untuk belajar menulis ilmiah. Sebuah kemampuan yang membuat saya memiliki nilai jual ketika selesai studi.

Berbekal hasil tes TOEIC, yang mengagetkan saya karena nilainya yang cukup tinggi, saya melamar beasiswa LPDP ketika selesai wisuda S2.

Rupanya saya sekali lagi berjumpa dengan teman berharga ketika memulai studi S2, kegagalan. Saya ditolak beasiswa LPDP, ketika saya sudah masuk ke tahap kedua dalam seleksi beasiswa itu.

Di sini saya melihat lagi bahwa memang saya yang belum siap untuk mengikuti proses seleksi. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang kampung dengan berbekal tawaran untuk mejadi seorang dosen.

Tawaran untuk jadi dosen karena selama kuliah S2, saya serigkali mengikuti konferensi dan menerbitkan tulisan di jurnal. Tentu ini karena saya mendapat inspirasi dari kuliah di Jogja yang membuat saya rajin menulis.

Setelah setahun lebih saya berkarir sebagai dosen di beberapa universitas akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti tes Beasiswa LPDP sekali lagi. Tak disangka, ternyata saya lolos.

Pada waktu seleksi wawancara, saya ditanya, “Saudara Yan, anda ini banyak menulis, apa yang memotivasi anda ?”. Jawab saya, “Karena banyak orang Manado itu suka berdiskusi, tapi jarang menulis. Padahal selama apapun kita berdiskusi, tentu akan dilupakan. Tapi kalau menulis, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, menulis itu bekerja untuk keabadian.”

Kelulusan beasiswa itu, rupanya bukan membuat saya senang tapi malah bingung dan takut.

Saya harus berjibaku sedemikian rupa untuk mencari universitas tempat saya melanjutkan studi. LPDP sendiri memberi standar berupa daftar Universitas yang akan disetujui.

Sayangnya LPDP juga mempunyai standar yang tinggi. Terbukti dengan universitas yang termaktub dalam daftar itu.

Akhirnya saya berangkat ke Kampung Inggris Pare untuk mempertajam bahasa Inggris yang saya miliki. Dan singkat cerita, saya mulai proses mengirim berkas ke universitas-universitas yang ada di daftar LPDP.

Begitulah, saya harus berjumpa lagi dengan sesuatu yang bukan lagi teman, tapi sudah jadi sahabat, kegagalan. Tak tanggung2 saya ditolak 11 universitas yang terdiri dari 3 universitas di Amerika Serikat dan 8 universitas di Inggris.

Sejak awal saya sudah menentukan target untuk ke universitas yang berbahasa inggris, karena jujur saja saya tidak belajar bahasa yang lain.

Saya lebih banyak mendaftar universitas di Inggris, karena alasan yang sederhana, tidak memungut uang pendaftaran. Di Amerika Serikat memang bisa memohonkan agar digratiskan pendaftaran, tapi karena itu sifatnya permohonan, bisa disetujui dan bisa juga tidak. Di Inggris, memang tidak mewajibkan uang pendaftaran.

Itulah ceritanya sehingga saya harus mengoleksi berbagai “Letter of Rejection” dari universitas-universitas ternama di dunia.

Tapi memang kegagalan yang memampukan saya untuk terus berjalan maju. Malah kegagalan itu mendorong saya untuk terus mendaftar dan akhirnya berjumpa dengan jodoh universitas yang dinanti, University of Leeds.

Refleksi saya akhirnya, bahwa kegagalan itu hal yang akan banyak dijumpai ketika kita mempunyai cita-cita yang tinggi.

Sebagai orang yang berasal dari Indonesia Timur, dengan berbagai ketertinggalan khususnya dalam bidang akademik, sekolah di luar negeri seperti mimpi di siang bolong.

Mimpi yang tinggi itu mensyaratkan kegagalan yang lumayan banyak jumlahnya itu.

Kegagalan rupanya bukan hanya datang dan merusak kehidupan kita. Tapi ia bersedia menjadi teman kita.

Bahkan sebenarnya kegagalan itu yang jadi tangga kita untuk menanjak naik menggapai dan malah melampaui mimpi-mimpi. Maka bersahabatlah dengan kegagalan. Niscaya ia akan setia mendorong dan membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik.

Akhir kata, selamat bersahabat dengan kegagalan !

 

Komentar

  1. Bedeh, memang..hehe

    BalasHapus
  2. makaseh Moreh kisahnya, "bersahabat dengan kegagalan" keren

    BalasHapus
  3. Wow! So inspiring article! πŸ˜†πŸ‘πŸ»
    Masih banyak yg berpikir kegagalan adl musuh, tapi trnyata bisa menjadi vitamin utk berkarya πŸ’ͺ🏼πŸ’ͺ🏼

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer