Renungan tentang Bendahara yang “Julik”
Renungan tentang Bendahara yang “Julik”
Membahas tentang
Perumpamaan “Bendahara yang tidak jujur” dalam Lukas 16, ada perspektif
yang menarik. Dalam salah satu terjemahan Kuno dari Bahasa Jawa, Perumpamaan
tersebut diberi judul “Bendahara Julik”, mungkin merupakan penjabaran dari teks
Jawa terjemahan LAI, “margo saka anggone duwe akal” yang artinya “ karena mempunyai
akal”. Kata “julik” itu sendiri menurut kamus bahasa Jawi Kuno, memiliki arti “licik
atau lihai”. Jadi kata itu mempunyai arti positif dan negatif.
Saya yang mengikuti Keith A. Reich, berpendapat bahwa secara
retoris sebenarnya tokoh Tuan dan Bendahara dalam perumpaan tersebut mewakili
orang-orang yang pintar dan cerdik dalam pandangan dunia tapi buruk dalam
pandangan Allah.[1] Jadi
Bendahara tersebut kemudian mewakili pengertian “Julik” yang negatif, dengan
kata lain “licik”. Ia menjadi licik karena dari cerita tersebut sudah kelihatan
bagaimana bendahara tersebut memanipulasi/mengatur sedemikian data menjadi
tidak sesuai dengan kenyataan semata-mata untuk kepentingannya sendiri, dengan
kata lain korupsi. Baik Bendahara maupun Tuan dalam hal ini sama-sama berbuat
kekeliruan. Sang Tuan berbuat semena-mena terhadap bendahara dengan memecat
tanpa mengadili (ayat 1). Si bendahara kemudian menjadi orang yang memanipulasi
data-data hutang terhadap sang Tuan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Indonesia negara kita ini sudah tidak bisa dipungkiri adalah
negara yang korup. Tidak usah kita membuat riset yang panjang lebar yang
membuang dana dan waktu yang banyak, sudah bisa kita katakan sekarang bahwa
korupsi sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita. Lalu apakah dalam situasi
seperti ini, kita juga harus menjadi korup ? Apakah kita juga harus menjadi
seperti Bendahara yang korup karena tahu Tuannya akan memecat dia. Apakah kita
juga harus sama dengan keadaan kita jadi korup ?
Menarik sebenarnya kita renungkan, apakah kita hanya bisa
menjadi “julik” yang negatif seperti Bendahara itu. Menurut saya, orang yang
bisa bertahan jujur dalam situasi yang penuh korupsi ini tanpa dipecat dan
berkembang kehidupannya adalah juga orang yang “Julik”. Jadi “Julik” dalam arti
yang positif, yaitu lihai. Menurut saya lagi, orang yang bisa hidup baik
tercukupi di lingkungan yang korupsi tapi bisa tetap jujur, itu orang hebat.
Itulah contoh orang yang “Julik” yang sesungguhnya. Lha sekarang, bagaimana
caranya? Itu tergantung kondisi serta situasi masing-masing. Banyak contoh
orang bisa bertahan hidup dengan kejujuran. Dalam Perjanjian Lama, cara
berpikir sederhana yang dipakai untuk menilai panjang atau tidak hidup
seseorang adalah dengan melihat apakah ia hidup baik atau tidak. Itu mungkin
terlalu sederhana. Tapi yang utama, adalah ingatlah sepintar-pintarnya tupai
melompat pasti ia akan jatuh juga.
[1] Keith A.
Reich, Figuring Jesus : The Power of
Rhetorical Figures of Speech in the Gospel of Luke¸(Leiden, Boston : Brill,
2011) h. 83.

Komentar
Posting Komentar