Kajian Teologi, Spiritualitas dan Seni terhadap Film “Ayah Mengapa Aku Berbeda ?”



KAJIAN TEOLOGI, SPIRITUALITAS DAN SENI TERHADAP  FILM “AYAH MENGAPA AKU BERBEDA ?”
 

  Oleh:               Ansye R. Lewerissa
                          Pdt. Olivia M. D. Tulaseket
                          Rina Lawalata
                          Pdt. Selfitriani Kulla
                          Yan O. Kalampung



I.                   PENDAHULUAN
Film “Ayah Mengapa Aku Berbeda ?” merupakan sebuah film inspiratif yang diadaptasi dari novel dan cerita online karya kakak beradik, Agnes Li dan Teddy Li. Agnes Li adalah perempuan kelahiran Jakarta 8 Oktober 1986 sedangkan Teddy Li lahir di Jakarta 7 Agustus 1989. Mereka memiliki kedua orang tua yang berlatar belakang sastra, budaya dan seni. Agnes Li pun mengikuti jejak mereka dengan  mengambil studi sastra Cina di Universitas Bina Nusantara. Namun karena ayahnya telah meninggal akibat kanker dan ibunya terpaksa membanting tulang seorang diri dengan menjual kue, maka Agnes pun memutuskan untuk berhenti kuliah. Ibu Li pun memutuskan untuk berangkat menjadi TKW di Taiwan. Pada akhirnya, Agnes dan Teddy  mencoba mencari peruntungan di bidang sastra dengan membuat novel dan menawarkannya kepada beberapa penerbit. Sayangnya, karya mereka itu selalu ditolak oleh para penerbit. Karena itu, mereka menggunakan Friendster untuk memuat cerita-cerita novel tersebut pada tahun 2007.
Film ini sukses tahun 2011 dengan meraup banyak keuntungan. Bukti kesuksesannya dilihat dengan dibuatnya sinetron yang merupakan pengembangan dari film ini. Peminatnya cukup banyak dari berbagai kalangan. Tema yang diangkat oleh film ini juga menarik dan sangat membumi karena mengangkat kenyataan tentang difabilitas. Persoalan yang muncul dalam dunia difabilitas dalam hubungannya dengan orang sekitar selalu menjadi topik hangat di antara masyarakat. Mengenai istilah yang dipakai apakah difabel atau disabel dalam film ini ada banyak pendapat. Karena seperti yang dikatakan oleh Tabita K. Christiani, bahwa tiap definisi punya agendanya sendiri. Tabita sendiri lebih mengikuti perkembangan internasional yang memakai istiliah disabel. Karena penekanan pada pengertian bahwa sesungguhnya tiap-tiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan orang-orang disabel memang memiliki ketidakmampuan sehingga perlu diterima apa adanya.[1] Tapi sebenarnya tiap-tiap orang juga adalah diabled karena apa ada orang yang bisa melakukan segala sesuatu di muka bumi ini? Semua orang punya hal yang tidak bisa dilakukannya. Kelompok lebih memilih isitilah difabel karena istilah disabel pada kenyataannya lebih melanggengkan diskriminasi terhadap mereka. Orang-orang punya kecenderungan untuk melihat ketidakmampuan mereka. Dengan pemakaian istilah difabel menurut kelompok, mengandaikan mereka memiliki kesetaraan dengan orang-orang normal.
Kalau ditilik dalam sejarah, ada banyak hal-hal menarik yang dapat dilihat, khususnya kebijakan-kebijakan yang diambil terhadap kaum difabel. Contohnya, Hitler dalam ideologi fasis yang ia miliki yaitu memuja manusia-manusia sempurna. Karena itu, para penyandang difabel diburu untuk dimusnahkan lantaran dianggap sebagai “ketidaksempurnaan yang akan mencemarkan arus keturunan”. Nazi punya program yang mengerikan, namanya Euthanasia (membunuh orang-orang untuk meringankan penderitaan mereka). Di abad pertengahan, Marthin Luther telah menyokong pembunuhan atas bayi-bayi cacat di Jerman dengan alasan bahwa bayi-bayi itu merupakan “titisan setan”.[2] Di dalam film ini, ada sikap yang sama yaitu bentuk penolakan atas keberadaan Angel. Tokoh utama yaitu seorang tunarungu (Angel) dibully oleh si tokoh antagonis (Agnes). Film yang diangkat dari novel ini menarik karena mengisahkan kehidupan sehari-hari dari seorang anak tunarungu dalam keluarga yang berjuang untuk bertahan hidup di Jakarta dan melawan segala penolakan atas diri Angel. Dalam film ini ada ungkapan-ungkapan teologis yang muncul bahwa di mata Tuhan semua sama; pandangan spiritual yang bisa ditarik seperti spiritualitas keadilan; serta unsur seni yang akan diuraikan lebih lanjut oleh kelompok. Selain itu, dalam film ini terdapat kritik-kritik bagi sistem pendidikan dan lingkungan sosial, sebab terdapat banyak keluarga yang menolak dan menyembunyikan bahkan dianggap menjadi aib kehadiran anak difabilitas.

I.       PEMBAHASAN
a)      Ayah, mengapa aku berbeda?
Film yang diproduksi oleh Rumah Produksi Rapi Films yang disutradarai oleh Findo Purwono Hw menceritakan tentang seorang anak tunarungu bernama Angel yang berjuang melawan segala keterbatasan dirinya. Ia lahir prematur di sebuah rumah sakit dan ibunya meninggal saat melahirkan dia. Ia dibesarkan dengan kasih sayang oleh ayah dan neneknya, hingga suatu saat ayahnya menyadari bahwa Angel menderita tunarungu. Karena itu, dokter menyarankan ayahnya untuk melakukan terapi secara intensif bagi Angel, supaya memudahkan dia untuk berkomunikasi. Pada awalnya, Angel masih bisa mendengar dengan memakai alat bantu pendengaran sampai suatu saat ia merasakan sakit yang sangat luar biasa di telinga saat menonton TV hingga ia pun jatuh pingsan dan telinganya mengeluarkan darah. Sejak saat itu, ia tidak bisa mendengar sama sekali dan dunianya menjadi hening. Dunianya sekejap berubah dalam keheningan, tetapi ternyata Angel yang terlahir sebagai tunarungu memiliki kelebihan dalam hal prestasi di bidang pendidikan dan seni musik. Kelebihan inilah yang membuat Angel kemudian dapat diterima di sekolah umum seperti anak-anak lainnya. Meskipun hal itu harus diawali dengan perdebatan antara ayah dan neneknya. Neneknya melihat Angel adalah pribadi yang berbeda dengan orang lain (lingkungan sekolah umum yang akan dimasukinya), karena keadaan Angel sebagai tunarungu. Namun sang ayah melihat Angel tidak berbeda dalam keadaannya itu. Angel berbeda karena dia lebih hebat/kuat dibanding ayah dan neneknya yang sulit menerima keadaan Angel. Pada akhirnya, Angel pun disekolahkan di sekolah umum seperti anak-anak normal lainnya. Kepala sekolah yang awalnya menolak untuk menerima Angel, akhirnya bisa menerima dia setelah melihat kemampuannya ketika mengerjakan soal-soal yang diberikan. Sayangnya, kehadiran Angel mendapat respon negatif dari teman-teman sekolahnya (Agnes dan teman-teman). Mereka sering menertawai dan membully Angel. Akan  tetapi, Angel masih memiliki seorang sahabat yang setia menemaninya sejak di bangku SMP-SMA, yaitu Hendra. Angel pun mulai berani unjuk gigi saat bisa bergabung dengan kelas musik untuk bermain piano, meskipun dia harus berhadapan dengan Agnes yang akhirnya menciderai dia. Hal itu membuat Agnes harus dikeluarkan dari sekolah. Setelah lulus SMP, Angel mulai mengajar sebagai guru piano bagi orang-orang tunarungu. Namun di bangku SMA, ia harus berjumpa lagi dengan Agnes. Agnes membalas sakit hatinya waktu dulu. Namun di sini terlihat sikap Angel yang mulai berani untuk melawan dibandingkan sikapnya waktu SMP yang hanya bisa menangis.
Pada suatu saat, Angel berjumpa dengan Ferly yang kemudian menjadi kekasihnya. Seiring berjalannya waktu, ayah Angel semakin terpuruk kesehatannya karena terserang penyakit jantung. Penghasilan keluarga mulai menurun sedangkan kebutuhan untuk membeli obat untuk sang ayah tidak bisa dihentikan begitu saja. Karena itu, Angel memutuskan untuk bekerja sebagai pianis di café tempat Ferly bekerja. Sayangnya, hidup ayah Angel tidak bertahan lama. Ayahnya pun menghembuskan nafas terakhir saat Angel harus mengikuti Kompetisi Piano Klasik. Angel tentu merasa terpukul dan benar-benar kehilangan sosok orang tua tunggal yang selama ini ada di sisinya, mengasihinya, mengasuhnya, mendidiknya, memotivasinya, dan membelanya di mana pun dan kapan pun itu. Namun pilu yang dirasakan Angel belum berakhir sampai di situ, karena ia juga harus kehilangan Ferly akibat kecelakaan motor pada saat Angel berhasil menjadi lulusan terbaik di sekolahnya. Kehilangan orang yang dicintai untuk kedua kalinya memang berat bahkan seperti tak adil bagi Angel. Kebahagiaan yang dirasakannya seakan hanya sesaat saja dalam hidupnya. Namun pada akhirnya, Angel pun bisa memaknai arti hidupnya dan merasakan kebahagiaan saat dia telah berhasil menjadi pengusaha sebuah toko roti, sekalipun tidak melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Dia juga menemukan cinta yang baru dalam diri Martin, temannya saat SMA. Angel menemukan sebuah pemaknaan hidup bahwa ia belajar untuk menerima dirinya, “Aku belajar untuk memahami bahwa hening tidak berarti sunyi, hening tidak berarti sendiri”.

Karakter dan Karakterisasi:
ü  Angel Darmakusumo (Angel) diperankan oleh Dinda Hauw: berperan sebagai anak yang terlahir tunarungu tetapi memiliki bakat seni dari sang ibu dalam memainkan piano dan berprestasi di sekolah.
ü  Bapak Suryo Darmakusumo [Suryo] diperankan oleh Surya Saputra: berperan sebagai ayah Angel. Ayah yang selalu memberi semangat kepada Angel, agar Angel tidak merasa berbeda dan bisa menerima keadaan dirinya.
ü  Nenek Angel diperankan oleh Rima Melati: berperan sebagai ibu dari Suryo dan nenek Angel, yang awalnya sangat realistis memandang cucu yang ingin dilindunginya dari penolakan lingkungan.
ü  Ferly bin Azzahwar (Ferly) diperankan oleh Indra Lyla: berperan sebagai seorang pelayan Café yang kemudian menjadi kekasih pertama Angel, yang menyemangati Angel dalam bakat dan pendidikannya.
ü  Hendra diperankan oleh Rafi Kinowntht: berperan sebagai sahabat Angel sejak SMP sampai SMA. Ia dapat menerima kehadiran Angel dan selalu mendukung Angel.
ü  Martin diperankan oleh Fendy Chow: berperan sebagai teman SMA Angel, yang kemudian menjadi pacar Angel sepeninggalan Ferly. Ia memiliki rasa simpati dan empati kepada Angel, hingga berkorban untuk berpacaran dengan Agnes demi melindungi Angel.
ü  Agnes diperankan oleh Kiki Azhari: berperan sebagai tokoh antagonis, yang selalu memusuhi dan menyiksa Angel sejak SMP sampai SMA.
ü  Ibu Cathrina  diperankan oleh Rheina Ipeh: berperan sebagai guru musik Angel ketika SMP dan melatih Angel untuk mengikuti kompetisi musik. Ia sangat sabar untuk melatih Angel bermain piano, ketika Angel akan mengikuti Kompetisi Piano Klasik.
ü  Jonathan diperankan oleh Richard Kevin: berperan sebagai pemilik cafe tempat Ferly dan Angel bekerja. Ia sangat kagum dengan permainan piano dari Angel dan memberi kesempatan bagi Angel untuk bekerja di tempatnya.
b)     Kajian Teologis
·         Adzan dan  Iqamah
                        “Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
                        Asyhadu Allah Ilaaha Ilallah”
Itulah bunyi kutipan adzan dan iqamah yang dikumandangkan oleh pak Suryo di telinga Angel setelah ia dilahirkan (menit ke 2:35-3:05). Ini merupakan kebiasaan umum yang biasa dipraktekkan oleh umat Islam. Ketika seorang bayi lahir dia diadzankan pada telinga kanan dan diiqamahkan pada telinga kiri. Banyak sekali hikmahnya ketika orang tua membacakan adzan dan iqamah shalat setelah anak dilahirkan. Menurut Ibnu al-Qayyim dalam kitab Tuhfat Al-Maudud fî Ahkam al-Maulud, disebutkan bahwa hikmah adzan yang diucapkan di telinga bayi mengajarkan kepada sang bayi tentang kebesaran Tuhan sekaligus meneguhkan kalimat tauhid ke dalam jiwanya semenjak dia dilahirkan ke dunia ini. Di samping itu, menurut Ibnu al-Qayyim, hal itu sebagai pelindung dari gangguan setan atau jin jahat yang selalu mengincar anak manusia semenjak dilahirkan. Mengumandangkan adzan dan iqamah shalat di telinga bayi yang baru dilahirkan ini meskipun hukumnya Sunnah, namun kalau bisa jangan sampai ditinggalkan mengingat pentingnya perkara ini. Hal ini dipandang penting, terutama kaitannya dengan pendidikan Tauhid bagi anak dan sebagai permohonan perlindungan sang anak agar tidak diganggu oleh setan atau jin jahat.[3]
·         Shalat
Keluarga yang menjadi fokus utama dalam film ini (Keluarga Pak Suryo) adalah keluarga Islam yang religius dan tekun beribadah. Hal ini dapat dilihat ketika mereka melaksanakan shalat bersama keluarga (waktu ke 1.03.15 ). Shalat dalam Islam adalah rukun iman atau kewajiban yang mesti dijalankan sebagai pemeluk agama Islam. Islam mengenal lima rukun iman yang terdiri dari Sahadat, Shaum, Zakat, Jihad dan Shalat. Shalat dalam Islam menempati kedudukan yang sangat penting yaitu sebagai tiang agama. Dalam sebuah Hadits, “Pokok segala sesuatu ialah Islam, tiangnya ialah shalat dan puncaknya ialah jihad di jalan Allah ( Diriwayatkan Muslim, Hadits 2). Hadits yang lain mengatakan, “Bahkan pembeda antara orang kafir dan Muslim adalah shalat sebagaimana dikatakan, “Jarak antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan shalat (Diriwayatkan Muslim Hadits 3). Fungsi shalat dalam agama Islam yaitu untuk mencegah berbuat kejahatan, mendapatkan pahala, dan menghapus dosa.
·         Kematian
Ketika Suryo meninggal di Rumah Sakit, ibunya mengucapkan kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (Waktu 1.14.00). Ucapan ini berarti “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali”. Dalam agama Islam, ucapan ini sering dipakai saat seseorang tertimpa musibah, mengalami atau menerima kabar dukacita. Umat Islam meyakini bahwa Allah adalah Esa yang memberikan dan Dia juga yang mengambil. Karena itu, mereka menyerahkan diri kepada Tuhan dan bersyukur kepada Tuhan atas segala yang mereka terima. Pada saat yang sama, mereka bersabar dan menyebut ungkapan ini saat menerima cobaan atau musibah. Hal ini berarti ibu Suryo merelakan kepergian anaknya.
·         Pengakuan akan Keberagaman
Tolong pak, kasi dia kesempatan...”
Demikian penggalan kata dari pak Suryo yang memohon kepada kepala sekolah, agar Angel diberi kesempatan untuk sekolah di SMP umum dengan anak-anak lainnya meskipun Angel adalah anak difabel (menit 17.20). Ketika kepala sekolah Angel yang sebelumnya (SLB, Sekolah Luar Biasa) memberikan saran agar Angel bisa melanjutkan pendidikannya disekolah yang kualitasnya lebih baik  seperti di Jakarta karena kemampuannya, maka lain halnya dengan kepala sekolah SMP tempat Angel didaftarkan. Kelompok melihat ini sebagai tindakan penolakan akan adanya keberagaman juga reaksi nyata bahwa memang ada keberagaman (others) tetapi menolak untuk menerima keberagaman. Jadi, kepala sekolah terlihat seolah-olah menginginkan sekolah yang dipimpinnya hanya ada murid-murid yang homogen “normal. Karena itu, tidak wajar jika ada salah satu anak muridnya yang difabal. Disini kehadiran Angel yang dipandang berbeda dengan konsep “normal” pada umumnya menegaskan keberagaman merupakan sebuah keniscayaan. Hal lain yang juga nampak dalam cerita ini adalah sikap menolak dan membully dari Agnes dan kawan-kawannya terhadap Angel (menit 20.08).
Namun kemudian penerimaan atas keberadaan Angel tetap ada walaupun sesudah melalui sebuah penolakan. Angel diterima bersekolah di sekolah umum setelah diuji (soal matematika) oleh kepala sekolah. Penerimaan akan keberagaman juga terlihat, ketika seorang guru menjawab pertanyaan Agnes dengan berkata, “Tidak Agnes! Angel pantas untuk mendapat kesempatan seperti kalian”. Kelompok melihat bahwa adegan ini menampilkan sebuah kritik yang tajam atas sistim pendidikan. Sistem pendidikan seolah-olah membagi kategori antara pendidikan anak “normal” dan anak difabilitas. Kelompok memang menyadari bahwa dibutuhkan penangan khusus terhadap anak difabilitas, khususnya dalam hal mengajar/pendidikan. Tetapi, kita tidak boleh menutup mata bahwa penderita difabilitas juga memiliki hak yang sama apalagi mereka juga memiliki kemampuan intelektual yang kurang lebih sama seperti anak normal. Karena itu, mereka juga memiliki hak untuk bisa mendapatkan pendidikan di sekolah umum. Selain itu, tes yang diberikan oleh kepala sekolah dipandang menyepelekan mata pelajaran lain dan mengunggulkan ilmu Aljabar (Matematika). Pendidikan di Indonesia lebih mengukur kecerdesan seorang dari ilmu Sains saja. Padahal pengetahuan semua ilmu adalah sama-sama penting. Di sinilah letak ketidakadilan dalam pengakuan akan keberagaman. Tetapi kehadiran Angel menyeimbangkan pentingnya antara pendidikan formal dengan keterampilan bermain musik. Karena itu, kelompok melihat ada dua makna teologis yang berkaitan dengan pengakuan akan keberagaman:
1.      Keberagaman dalam Kesatuan
Pandangan yang selalu melihat Angel sebagai “the others” oleh orang yang “normal”, menurut kelompok harus diganti. Rasul Paulus pun mengingatkan bahwa ada banyak anggota dalam satu tubuh (1 Kor. 12: 12-31). Hal ini nampak pada penggunaan kata “mele” ketimbang “melos” (ayat 12). Mele bersifat jamak sedangkan melos bersifat tunggal.[4] Walaupun latar belakang teks ini adalah bukan keberagaman manusia melainkan keberagaman karunia, kandungan teologis yang menjadi penekanan Paulus tentang sebuah “Kesatuan” inilah juga yang ingin menjadi sudut pandang kelompok. Tulisan tersebut menggiring penghapusan konsep “the others”. Artinya, difabel merupakan bagian dari anggota masyarakat bukan “orang normal” saja anggotanya. Konsep the others yang dilekatkan kepada kelompok difabilitas cenderung menimbulkan struktur hierarki budaya dominan-marjinal, modern-etnik, dan global-lokal. Selain iu, mengenai relasi yang harusnya menjadi warna erat bagi umat kristen ditengah masyarakat yaitu “kasih”. Dalam 1 Yohanes 4:20 diungkapkan bahwa kehidupan berelasi umat adalah refleksi dari kehidupan berelasi dengan sesama karena umat telah lebih dahulu dikasihi dengan kematian-Nya bagi “semua” orang. Konsep penerimaan terhadap keberagaman sebenarnya sudah menjadi hal yang umum saat ini. Jadi dalam komunitas masyarakat, semua anggotanya memiliki paham untuk menerima bahwa kita sudah berbeda dari awal sehingga tidak perlu disama-samakan. Ini dipicu dari perkembangan pemikiran yang semakin mengarah pada penerimaan perbedaan itu.

2.      Semua Manusia Sama di Hadapan Allah
Seusai shalat, ayah Angel memeluk Angel sambil berkata dalam hati, “Mungkin menurutmu, kamu berbeda dari yang lain. Tapi di hadapan Allah, semua manusia itu sama” (waktu 01.03.56). Ungkapan “Di hadapan Allah, semua manusia itu sama” merupakan sebuah ungkapan yang bermakna teologis.
Konsep tentang manusia sama di hadapan Tuhan dalam ajaran Islam dapat dilihat dari kisah penciptaan. Kisah penciptaan memperlihatkan bagaimana manusia diciptakan oleh Allah Swt. Di dalam Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah. Pada akhirnya, ia menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan[5]. Karena itu, dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat[6]. Hal yang membedakan manusia itu sendiri adalah ketaqwaan mereka kepada Tuhan.
Dalam ajaran teologi Kristen pun memiliki pemahaman yang kurang lebih sama dengan ajaran Islam, bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah bahkan dikatakan segambar dan serupa dengan Allah (Kej. 1:26-27). Karena itu, dari kisah penciptaan dapat dilihat bahwa semua manusia sama di hadapan-Nya sebagai gambar dan rupa-Nya. Tidak ada manusia yang lebih sempurna atau kurang sempurna ketika Allah menciptakannya. Semua manusia sama sebagai gambar dan rupa Allah. Tidak ada konsep superior dan inferior dalam relasi manusia dengan Allah.
·         Teologi Tubuh seorang Perempuan Difabilitas (Tunarungu)
Kelompok juga melihat film ini dalam perspektif feminis yaitu kaitannya dengan tubuh seorang perempuan difabel. Anna Marsiana mengutip Chung Hyun Kyung dalam tulisan tentang Teologi Tubuh yang mengatakan bahwa tubuh perempuan adalah representasi dari pengalaman kesakitan dan penderitaan perempuan di Asia. Tubuh perempuan Asia, yaitu ”tubuh yang terpecah” (the broken body), adalah perekam sejarah ketidakadilan dan penindasan yang berlaku atas perempuan-perempuan Asia, dan juga adalah ketidakadilan (yang) masih terus berlangsung. Anna memiliki pengalaman sharing bersama kaum difabilitas, ia mencatat bahwa pengalaman ketubuhan yang disharingkan memampukannya berdialog dengan nyaman dengan kawan dan sahabat difabel karena  sharing tsb telah mengantarkan saya pada kesadaran bahwa ternyata kita sesungguhnya sama-sama difabel, hanya dalam kondisi yang berbeda. Saya sama differently able-nya dengan dia, hanya saja oleh standard yang ada, ke-difabel-an saya tidak terlihat, sedangkan ke-difabel-an dia nyata terlihat. Saya masuk ke dalam kelompok mayoritas yang  selama ini telah tanpa sadar memiliki privilege untuk mendifinisikan siapa yang difabel dan siapa yang tidak difabel dan bahkan disebut normal.[7]
Perbedaan tubuh (baca pancaindra) yang dialami Angel sebagai perempuan difabel (tunarungu) membuatnya mengalami penindasan dan kekerasan terhadap tubuhnya baik yang berifat verbal maupun kekerasan fisik, yang anehnya justru paling banyak dilakukan oleh sesama perempuan (Agnes dan teman-teman) (menit 20.08-21.10). Kelompok menyimpulkan bahwa Angel dapat menjadi representasi realitas kaum perempuan Asia (baca Indonesia) yang masih saja mengalami penindasan dan kekerasan ganda akibat tubuhnya sebagai perempuan sekaligus yang difabel. Seperti ketika wajahnya dirias (baca dimake up; menit 1.10.46) serba tidak beraturan oleh Agnes dan teman-temannya menjelang kompetisi, sehingga ia tampil dengan wajah yang coreng-moreng. Ini adalah contoh pelecehan seksual. Tokoh Agnes, kepala sekolah SMP, maupun nenek dalam film ini mewakili masyarakat pada umumnya yang melihat kaum difabel sebagai manusia yang berbeda dalam arti negatif, tidak normal. Karena itu, layak untuk ditindas, dilecehkan bahkan disingkirkan.
·    Yesus dan kaum difabilitas dalam Alkitab
Dalam Alkitab beberapa teks menceritakan bagaimana kisah perjumpaan Yesus dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat karena difabilitasnya seperti orang buta, bisu, tuli, lumpuh dan sebagainya (misalnya dalam Markus 7: 31-37, Matius 9:6, 27-29, 15:29-31, 20:29-34 dsb). Perjumpaan Yesus dengan mereka biasanya karena mereka sendiri yang mendatangiNya atau dibawa oleh orang-orang yang ingin mereka disembuhkan. Selain memberitakan Injil di rumah-rumah ibadat, mengusir setan-setan (Markus 1:38-39), rupanya menyembuhkan orang-orang sakit adalah salah satu pekerjaan Yesus selama Ia berada di dunia ini (Markus 1:29-34). Karena itulah maka tidak jarang orang-orang mendatangiNya karena ingin mendapatkan kesembuhan termasuk kaum difabilitas. Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkan segala macam penyakit maka tidak heran Ia dipandang sebagai Sang Tabib yang ajaib. Yesus sebagai tabib itulah kiranya yang masih mempengaruhi banyak orang hingga kini sehingga mengabaikan pertama-tama bagaimana sikap penerimaan Yesus yang utuh kepada mereka (baca kaum difabilitas). Yesus tidak seperti kebanyakan orang Yahudi atau bahkan murid-murid ketika itu yang menolak kehadiran mereka. Kelompok melihat bagaimana jika mereka memang tidak dapat disembuhkan?
Dalam sosok baru Yesus sebagai orang bijak, orang-orang Kristen Asia dapat menemukan seorang manusia yang menolong mereka untuk menemukan suatu jalan untuk menanggapi kemajemukkan keagamaan dan masalah yang lebih besar lagi berupa ketidakadilan yang dialami manusia[8]. Kata ketidakadilan disini mencakup pula apa yang dialami oleh kaum difabilitas. Gambar Yesus inilah yang seharusnya diambil oleh gereja-gereja kita di Indonesia. Yesus sebagai seorang yang berhikmat memiliki keterbukaan dan memiliki tekad kuat untuk mengangkat derajat mereka yang miskin, perempuan, anak-anak, kaum difabilitas, dan orang berdosa. Bertolak dari gambaran itu maka kelompok berpendapat bahwa kaum difabilitas tidak perlu disembuhkan untuk dipulihkan martabatnya. Mereka hanya butuh sikap penerimaan terhadap keberadaan mereka apa adanya. Seperti Yesus yang menegakkan dan memulihkan derajat dan martabat mereka maka kita juga seharusnya memulihkan dan menegakkan derajat dan martabat kaum difabilitas.
Kisah Natalius Anton Patanan STh, SH bisa menjadi sebuah contoh nyata bagaimana perjuangan seorang difabilitas (tunanetra) yang mengalami penolakkan dari sekolah teologi dan bahkan gereja. Pada tahun 2001 ia melamar studi di STT Intim Makassar namun oleh panitia penerimaan waktu itu menolak karena ia buta dan tidak ada fasilitas kampus berupa Alkitab Braile untuknya. Namun kata-katanya ketika itu mirip dengan kata-kata Ayah Angel, “Tolong kasih saya kesempatan Pak, saya bertekad mencoba”. Pada akhirnya pihak kampus menerima Anton. Menariknya adalah rekan-rekan Anton seangkatan membantunya dengan dukungan penuh dalam proses menerima pembelajaran. Selain ia membawa tape recorder dan menulis sendiri materi pelajaran dengan huruf braille, rekan-rekan menolongnya dengan bergilir membacakan setiap materi dan membantunya dengan pejelasan-penjelasan. Ia dianugerahi pendengaran yang sangat tajam dan ingatan yang kuat. Akhirnya Anton lulus dengan nilai A di akhir ujian skripsinya, uniknya ia sendirian yang pergi meneliti di Bandung tentang pembakaran gereja-gereja yang menjadi tema skripsinya. Lalu bagaimana dengan sikap gerejanya? Ketika lulus dan kembali ke gereja untuk melamar sebagai calon pendeta, ia ditolak oleh pihak sinode karena difabilitasnya. Gereja mengatakan dengan difabilitasnya mana mungkin ia mampu melayani jemaat. Dengan penuh kekecewaan ia akhirnya melamar tes PNS untuk menjadi guru agama dan menariknya ia saja yang lulus dari 7 orang yang melamar (ia sendiri yang difabel). Ia ditempatkan mengajar di sebuah SD di daerah Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia berpikir ia dapat diterima oleh negara, bagaimana dengan gereja, pasti gereja juga akan menerima. Dengan tekad kuat maka ia kembali melamar menjadi calon pendeta tetapi lagi-lagi Sinode menolaknya, iapun kecewa. Ia akhirnya meneruskan studi jurusan hukum (ia sangat berminat dengan masalah advokasi) di salah satu universitas dan lulus menjadi seorang Sarjana Hukum. Apa yang dialami Anton mencerminkan penolakkan yang umumnya dialami oleh kaum difabilitas. Tetapi Anton membuktikan ia mampu belajar di universitas bahkan berprestasi terlepas dari difabilitasnya.
Paling penting disini menurut kelompok adalah penerimaan komunitas dimana ia berada dan ia didukung penuh untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dan gereja. Menurut kelompok lembaga pendidikan termasuk sekolah teologi harus menerima dan memberi kesempatan kepada kaum difabilitas untuk mnempuh pendidikan. Demikian pula gereja harus menerima kaum difabilitas dan menyediakan fasilitas yang ramah terhadap kaum difabilitas.  Salah satu yang perlu diperhatikan secara serius adalah arsitektur gereja itu sendiri yang belum menjawab kebutuhan kaum difabilitas seperti contoh sederhana terlalu banyak anak tangga menuju pintu gereja dan tidak ada jalan untuk pengguna kursi roda. Jika masyarakat dan gereja sudah menerima bahkan mendukung mereka maka kaum difabilitas pasti akan dipulihkan derajat dan martabatnya. Bahkan negara menjamin itu Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Difabel, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Difabel, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan, Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dan beberapa peraturan lainnya. Bahkan, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, menginstruksikan kepada para gubernur di Indonesia untuk menyediakan fasilitas yang memadai bagi difabel.[9] Hal tersebut disampaikannya dalam pidato peringatan hari Difabel Internasional tahun 2005.
Jika kita masih percaya bahwa esensi teologi adalah manusia dan pembebasan manusia, bicara tentang tubuh Kristus yang disalibkan, akan terasa lebih nyata dan mewujud ketika kita memulai dengan menggali dan merefleksikan pengalaman ketubuhan kita yang coded, imprisoned, dan broken (berdasarkan aturan, terpenjara, rusak/hancur). Kalimat “inilah tubuhKu yang dipecah-pecahkan bagimu…” dalam perjamuan kudus menemukan maknanya ketika kita mulai merefleksikan hidup kita dari perspektif pengalaman ketubuhan kita. Kristus pun turut menderita dalam ketertindasan dan kehancuran tubuh kita. Tubuh adalah bagian integral dari diri kita, bahkan yang paling dekat dengan kita, satu-satunya yang kita bawa waktu kita lahir dan akan kita bawa waktu kita mati. Karena itu, keyakinan spiritualitas yang utuh hanya bisa kita dapatkan di dalam penerimaan diri yang sepenuhnya, dan di dalamnya adalah tubuh, yang adalah bagian terdekat dengan diri kita.[10] Angel sudah menerima keterbedaan tubuhnya itu dengan utuh bahkan memahaminya sebagai bagian terbaik yang Tuhan berikan dalam hidupnya. Mengapa gereja dan lembaga pendidikan masih kaku menyingkapi hal ini?
c)      Kajian Spiritualitas
·      Spiritualitas keheningan
Ternyata Ayahku benar aku memang berbeda tidak seperti manusia, Tuhan memberiku dunia yang hening dan ternyata keheningan adalah pemberian terbaik Tuhan bagiku. Dalam hening, aku belajar menghargai warna dan binar dunia. Dalam hening, aku belajar untuk tidak merasa sepi. Karena hening tidak harus sunyi. Karena hening bukan berarti sendiri.”
Spiritualitas yang nampak dalam ungkapan-ungkapan ini adalah keheningan, sebab Angel memiliki pandangan tersendiri terhadap keheningan yang dialaminya dan juga berpengaruh pada bagaimana ia memaknai kehidupannya. Pada akhirnya, ia membenarkan pernyataan Ayahnya bahwa ia memang berbeda, karena ia tidak dapat mendengar dan hidup dalam dunianya yang hening. Menurut Angel, dunianya yang hening itu adalah pemberian terbaik yang telah Tuhan berikan dalam hidupnya. Sebab dalam keheningan ia belajar menghargai warna dan binar dunia. Dunianya yang hening (internal) telah menghantarkan dan menolong Angel mengalami proses pembelajaran untuk menghargai ciptaan Tuhan berupa warna-warni dan cahaya-cahaya dunia yang dapat ia nikmati sehari-hari (eksternal). Ia dapat melihat satu hal lebih mendalam dan memaknainya sebagai sesuatu yang indah. Matthew Fox menjelaskan mengenai bagaimana cara masuk ke dasar jiwa (foundation of the soul), ia memasukkan keheningan sebagai satu hal yang menjadi syarat di samping tiga hal yang lain yaitu ke-diam-an, ketidakpedulian dan ketiadaan. Ini merupakan bagian dari via negativa sebagai salah satu jalan untuk melihat dunia secara utuh. Dalam jalan ini semua pandangan diarahkan kepada satu fokus yaitu dasar keberadaan (foundation of being) di mana harta yang sesungguhnya ada. Konsentrasi pada satu hal akan mengakibatkan ketidakpedulian akan hal lain, yang kemudian pada gilirannya menuntun pada penemuan dasar jiwa sebagai harta yang sesungguhnya. Karena dasar jiwa dan dasar keberadaan tidak akan membuka rahasianya pada dunia yang ribut sibuk dan serba superfisial.[11] Dengan keheningan yang dialami oleh Angel, ia lebih bisa melihat dunia dengan jiwanya.
Lebih lanjut lagi Angel berpandangan bahwa dalam keheningan itu ia tidak merasa sepi, sunyi, sendiri. Ia menyanggah pandangan yang ada pada khalayak bahwa hening selalu mengandung tiga hal tadi. Rumi juga memandang diam sebagai hal yang positif. Dalam puisinya, Rumi mengartikan diam sebagai mati. Mati bukan berarti mati tubuh, tapi merupakan perpindahan dari situasi kini dan masuk ke dalam cinta karena “bila kau telah mati dalam Cinta ini akan kauperoleh hidup baru”. Menurutnya, dengan diam seseorang akan mengalami pembebasan jiwa badani yang terikat pada badan seperti tawanan yang terbelenggu.[12] Dalam kisah Angel, sebenarnya ketika ia mengalami keheningan akibat tunarungu, ia justru mendapatkan cinta dari orang tuanya dan orang-orang yang betul-betul menyayanginya.
·            Spiritualitas Keadilan
Menurut kelompok, sikap Ibu Cathrina, Guru Musik Angel waktu SMP yang menerima Angel walaupun ia tunarungu tapi bisa bermain piano menunjukkan keadilan. Karena keadilan juga mengandaikan pemberian kesempatan yang sama bagi semua orang. Menarik untuk diperhatikan juga dalam tulisan Gereja Katolik mengenai Keadilan di Dunia, dicantumkan  dalam bagian I tentang Keadilan dan Masyarakat Dunia, ada poin tentang penegasan hak untuk berkembang sebagai hak azasi manusia.[13]
Menurut Meister Eckhart, keadilan adalah bentuk perubahan dari orang yang adil. Jadi ia memahami keadilan sebagai sebuah sikap dari orang adil. Ini merupakan salah satu unsur penting dari spiritualitasnya. Menurutnya, orang yang adil hidup dalam Allah dan Allah hidup dalam dia. Semua orang yang bekerja dalam keadilan akan lahir ke dalam Allah dan Allah akan lahir darinya melalui setiap nilai yang dikandungnya. Bukan hanya nilai, tapi setiap laku dari orang adil seberapa pun kecilnya akan membuat Tuhan bersukacita. [14] Matthew Fox mengatakan bahwa semua landasan teologi kerja dari Eckhart ada pada teologi kreativitas, keadilan, dan belas kasih. Alasan mengapa Tuhan bersukacita dalam setiap laku keadilan dari orang adil menurut Fox karena Tuhan adalah keadilan. Ia menyimpulkan perkataan Eckhart bahwa Tuhan sangat adil – justissimus dan Tuhan adalah, seperti sebelumnya, keadilan itu sendiri, karena itu berada di dalam Tuhan berarti berada di dalam cinta kasih dan keadilan.[15]
Menurut Fox, kita dipanggil untuk melakukan keadilan dalam semua kerja kita, tapi sebelumnya kita perlu lahir ke dalam keadilan. Karena terobosan dan kelahiran yang sesungguhnya dari kita adalah sebuah kebangkitan ke dalam keadilan dan ke dalam Tuhan yang adalah keadilan. Perilaku keadilan selalu membawa bersamanya semacam kebenaran diantara orang-orang seperti dikatakan Eckhart, bahwa keadilan seperti sebuah kebenaran yang diterima oleh orang-orang.Orang yang melakukan keadilan menurut Eckhart tidak mencari apa-apa dengan perbuatannya, karena semua orang yang melakukan keadilan untuk mendapatkan sesuatu adalah orang yang bekerja untuk sebuah “mengapa”, dan orang itu adalah budak dan orang bayaran. Karena itu, untuk diubahkan ke dalam keadilan, janganlah bermaksud untuk mendapatkan sesuatu dan bekerjalah untuk “tidak mengapa”, dalam waktu maupun keabadian. Jangan mengharap penghargaan atau anugerah ini dan itu sebab orang yang bekerja begitu adalah orang yang sungguh-sungguh mati.[16] Ini tentu adalah sebuah kelanjutan dari konsep sunder warumbe yang bagi Eckhart, adalah suatu hidup di mana seseorang tidak berbuat atas dasar pamrih atau imbalan tertentu, baik itu duniawi maupun rohani.[17]
d)     Seni
Kelompok melihat bahwa film merupakan sebuah karya seni yang ditampilkan dalam lakon dengan kecanggihan alat-alat yang digunakan di belakang layar. Film merupakan salah satu bentuk kesenian. Dalam pekerjaan penyusunan dan pengaturan film inilah terletak wujud kreasi cipta yang sebenarnya. Ide setiap kerja seni adalah sebuah pandangan cemerlang yang bermutu luhur tentang harga kehidupan kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk pengucapan seni. Hal yang sama juga dikehendaki dalam penciptaan dengan film sebagai karya seni. Ide cerita bisa berasal dari dongeng seseorang dipinggir jalan, mungkin juga cerita seorang pengarang/seorang sutradara atau buah pikiran seorang produser film, yang kemudian digubah menjadi cerita dalam kemungkinan-kemungkinan dunia perfilman.[18] Sutradara, para pemain, skenario dan pemilihan backsound merupakan unsur penting dari nilai sebuah film. Menurut kelompok, kesuksesan film ini merupakan andil besar dari ketotalitasan para pemain dalam menyampaikan pesan cerita. Ada sederet nama-nama besar, baik aktor maupun aktris yang terlibat dalam penggarapan film ini. Seperti Dinda Hauw yaitu seorang yang bukan difabilitas, tapi berhasil memerankan perannya sebagai difabilitas. Selain itu, ada juga tokoh Surya Saputra yang banyak meraih penghargaan di dunia perfilman berhasil memerankan perannya sebagai ayah yang baik bagi anaknya, meskipun dalam kehidupan nyata ia belum memiliki anak. Ketotalitasan mereka dalam berperan terbukti dengan banyaknya penonton menangis atau bahkan memaki-maki tindakan Agnes. Selain itu, backsound yang membantu penonton memahami apa yang dirasakan pemeran walau tak diungkapkan dalam kata-kata (mis. Lagu “Rapuh” dari Agnes Monika).
Namun secara jujur melalui analisa kritis terhadap film tersebut kelompok sepakat jika film ini tidak benar-benar dapat merepresentasi anak-anak difabel sebab pemeran Angel disini adalah seorang yang cantik juga berpenampilan menarik. Ini mungkin saja ingin mengkaunter pola pikir bahwa anak difabel itu jelek dan jorok, bahwa ternyata ada juga yang chanti, tampan dan bisa mengurus diri (penampilannya). Karena itu kelompok menyimpulkan bahwa Angel kurang representatif. Namun kelompok juga tidak memungkiri bahwa sebuah film selain mementingkan kualitas film penuh makna juga memperhitungkan nilai untung rugi (komersial). Sebab itu pemilihan pemeran juga melalui tahap ini, sehingga artis yang sudah sangat dikenal dan kemampuannya tidak diragukan lagi. Sebab untuk memerankan Angel tentu tidak mudah, demikian tutur Dinda Hauw ketika diwawancarai seputar film “Ayah Mengapa Aku Berbeda?” sebab ia harus belajar dan menghafal bahasa isyarat.[19]
Adapun nilai seni dalam film ini juga terlihat dari permainan musik piano oleh seorang difabel. Film ini menunjukan bahwa jiwa seni bukan sekedar sebuah hobi atau kemampuan tetapi juga adalah bakat alami. Ada ungkapan “orang ini memiliki darah seni”, ini menggambarkan bahwa Angel memiliki keahlian tersebut bukan kebetulan, tapi karena memiliki latar belakang keluarga yang erat dengan seni. Angel dapat bermain piano walupun tuli adalah kenyataan yang secara rasional mungkin tidak dapat diterima, tetapi itulah kemampuan yang ia warisi dari sang ibu. Karakter Angel saat memainkan musik dengan keterbatasannya mempertegas kata-kata sang guru musik, “Musik memang harus didengarkan tetapi dengan hati”. Ini menunjukan bahwa seni bukan semata hasil olah logika atau otak, tetapi lebih kepada olah karsa, cipta dan rasa (sensibilitas).

II.    Penutup
Dari kajian film yang diuraikan di atas, kelompok mencoba mengeksplor makna-makna yang terkandung dalam film “Ayah Mengapa Aku Berbeda?” sebagai sebuah kesimpulan:
1.      Bahwa para penderita difabilitas adalah orang-orang yang tidak pernah memiliki kemampuan untuk memilih seperti apa mereka harus dilahirkan. Keberadaan mereka ini membawa pada pergulatan dengan diri dalam pertanyaan seperti judul film ini.
2.      Para difabilitas bukan orang aneh atau asing tetapi mereka bagian dari kita (masyarakat dan gereja), karena itu lingkungan harus belajar untuk menerima dan memberi dukungan bagi mereka.
3.      Negara Indonesia dengan Ideologi Pancasila khususnya Sila ke 5 dan UU, harusnya dapat memberikan perlakuan yang sama bagi kelompok difabilitas untuk dapat memiliki kesempatan yang sama di sekolah-sekolah umum lainnya. Juga saran kelompok agar kualitas lembaga pendidikan SLB ditingkatkan agar kedepan bisa menjawab pergumulan sang kepala sekolah SLB yang mengakui keterbatasan lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
4.      Konflik antar karakter yang ditampilkan adalah gambaran akan realitas yang umumnya dihadapi oleh kaum difabilitas, baik secara sadar maupun tidak sadar. Karena itu, kelompok mengusulkan film ini untuk ditonton oleh keluarga atau masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kelompok atau pribadi yang difabilitas. Sebab pola pikir dan ketegaran ayah Angel untuk memperjuangkan hak anaknya patut ditiru oleh orang tua yang dianugerahi anak difabilitas. Karena sering kali, ada keluarga yang menyembunyikan anak-anak mereka yang difabilitas ini dari lingkungan sebab malu atau tidak bisa menerima kenyataan, seperti yang kelompok sampaikan dalam latar belakang memilih film ini.


[1] Tabita Kartika Christiani, Berteologi Disabilitas di Gereja-gereja Indonesia, Pertemuan Pembinaan Warga Gereja Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode GKJ dan GKI SW Jawa Tengah, Yogyakarta, 30 April 2014, h. 1.

[2] P. Coleridge, Pembebasan dan pembangunan: Perjuangan Penyandang Cacat di Negara-negara berkembang, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. 60.
[3] Akhmad Muhaimin Azzet, Tradisi  Doa dalam Tradisi Islam, Yahudi dan Kristen, jendelakeluargabahagia.blogspot.com/.../adzan-dan-iq), diakses tanggal 8 November 2014.

[4] Paulus E. Kristianto, Pengembangan Kesadaran Teologi Difabilitas dalam Kurikulum Pendidikan Agama Kristen bagi Perjuangan Keberadaan Difabel di Indonesia, Makalah Pertemuan Asosiasi Teolog Indonesia, Yogyakarta, 7-9 Agustus 2014, h. 1.
[6] Arista Sefreeyeni, dkk, Hakikat Manusia Dalam Islam, 2013, dalam https://aristasefree.wordpress.com/tag/pengertian-manusia-menurut-agama-islam/, diakses tanggal 11 November 2014.
[7]Anna Marsiana, Berteologi dari Perspektif Tubuh: Sebuah Undangan untuk Melakukan Pembebasan dan Transformasi Secara Lebih Otentik dan Jujur, Disampaikan dalam Seminar/Pertemuan Peruati se-Sulutenggo & Luwuk dalam rangka HUT Peruati ke 19, 30 Mei sd 1 Juni 2014, di Tentena.
[8] R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, terj. I. Rakhmat ,(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996) h. 417.
[9]Titiana Adinda, “Menggugat Kebijakan dan Pengadaan Fasilitas Umum untuk Difabel”, h. 85.                             
[10] Ibid, hal 5 dan 8
[11] Matthew Fox, Breakthrough : Meister Eckhart’s Creation Spirituality in New Translation, (New York: Image Books, 1980) h. 260.
[12] Puisi Rumi h. 119
[13] Michael J. Schultheis, Ed P. DeBerri & Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1988) h. 87.
[14] Matthew Fox, Breakthrough : Meister Eckhart’s Creation Spirituality in New Translation, h. 464.
[15] Ibid, h. 467.
[16] ibid, h. 464.
[17] Syafa’atun Almirzanah, When mystic masters meet : Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009) h. 204.
[18] Dien Sjarief, Film: Sebagai Kesenian Seni Abad Industri, Artikel Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Sinematika Indonesia, 1998.

Komentar

Postingan Populer