Kajian Teologi, Spiritualitas dan Seni terhadap Film “Ayah Mengapa Aku Berbeda ?”
KAJIAN TEOLOGI, SPIRITUALITAS DAN SENI TERHADAP FILM “AYAH
MENGAPA AKU BERBEDA ?”
Oleh: Ansye R.
Lewerissa
Pdt. Olivia M. D. Tulaseket
Rina Lawalata
Pdt. Selfitriani Kulla
Yan O. Kalampung
I.
PENDAHULUAN
Film “Ayah Mengapa
Aku Berbeda ?” merupakan sebuah film inspiratif yang diadaptasi dari novel dan
cerita online karya kakak beradik,
Agnes Li dan Teddy Li. Agnes Li adalah perempuan kelahiran Jakarta 8 Oktober
1986 sedangkan Teddy Li lahir di Jakarta 7 Agustus 1989. Mereka memiliki kedua
orang tua yang berlatar belakang sastra, budaya dan seni. Agnes Li pun
mengikuti jejak mereka dengan mengambil
studi sastra Cina di Universitas Bina Nusantara. Namun karena ayahnya telah
meninggal akibat kanker dan ibunya terpaksa membanting tulang seorang diri
dengan menjual kue, maka Agnes pun memutuskan untuk berhenti kuliah. Ibu Li pun
memutuskan untuk berangkat menjadi TKW di Taiwan. Pada akhirnya, Agnes dan
Teddy mencoba mencari peruntungan di
bidang sastra dengan membuat novel dan menawarkannya kepada beberapa penerbit.
Sayangnya, karya mereka itu selalu ditolak oleh para penerbit. Karena itu,
mereka menggunakan Friendster untuk memuat cerita-cerita novel tersebut pada
tahun 2007.
Film ini sukses tahun 2011 dengan meraup banyak keuntungan. Bukti
kesuksesannya dilihat dengan dibuatnya sinetron yang merupakan pengembangan
dari film ini. Peminatnya cukup banyak dari berbagai kalangan. Tema yang
diangkat oleh film ini juga menarik dan sangat membumi karena mengangkat kenyataan tentang
difabilitas. Persoalan yang muncul dalam dunia difabilitas dalam hubungannya
dengan orang sekitar selalu menjadi topik hangat di antara masyarakat. Mengenai istilah yang dipakai apakah difabel atau disabel dalam film ini ada banyak pendapat. Karena seperti yang
dikatakan oleh Tabita K. Christiani, bahwa tiap definisi punya agendanya
sendiri. Tabita sendiri lebih mengikuti perkembangan internasional yang memakai
istiliah disabel. Karena penekanan
pada pengertian bahwa sesungguhnya tiap-tiap orang memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dan orang-orang disabel
memang memiliki ketidakmampuan sehingga perlu diterima apa adanya.[1]
Tapi sebenarnya tiap-tiap orang juga adalah diabled
karena apa ada orang yang bisa melakukan segala sesuatu di muka bumi ini? Semua
orang punya hal yang tidak bisa dilakukannya. Kelompok lebih memilih isitilah
difabel karena istilah disabel pada kenyataannya lebih melanggengkan
diskriminasi terhadap mereka. Orang-orang punya kecenderungan untuk melihat
ketidakmampuan mereka. Dengan pemakaian istilah difabel menurut kelompok,
mengandaikan mereka memiliki kesetaraan dengan orang-orang normal.
Kalau
ditilik dalam sejarah, ada
banyak hal-hal menarik yang dapat dilihat, khususnya kebijakan-kebijakan yang diambil terhadap kaum difabel.
Contohnya, Hitler dalam
ideologi fasis yang ia miliki yaitu
memuja manusia-manusia sempurna. Karena itu, para penyandang difabel
diburu untuk dimusnahkan lantaran dianggap sebagai “ketidaksempurnaan yang akan
mencemarkan arus keturunan”. Nazi punya program yang mengerikan, namanya
Euthanasia (membunuh orang-orang untuk meringankan penderitaan mereka). Di abad
pertengahan, Marthin Luther telah menyokong pembunuhan atas bayi-bayi cacat di
Jerman dengan alasan bahwa bayi-bayi itu merupakan “titisan setan”.[2]
Di dalam film ini, ada sikap yang sama yaitu bentuk penolakan atas keberadaan Angel. Tokoh utama yaitu seorang tunarungu (Angel) dibully oleh si tokoh antagonis (Agnes). Film yang diangkat
dari novel ini menarik karena mengisahkan
kehidupan sehari-hari dari seorang anak tunarungu dalam keluarga yang berjuang untuk bertahan hidup di
Jakarta dan melawan segala penolakan atas diri Angel. Dalam film ini ada ungkapan-ungkapan
teologis yang muncul bahwa di mata Tuhan semua sama; pandangan spiritual yang
bisa ditarik seperti spiritualitas keadilan; serta unsur seni yang akan
diuraikan lebih lanjut oleh
kelompok. Selain itu, dalam
film ini terdapat
kritik-kritik bagi sistem pendidikan dan lingkungan sosial, sebab terdapat banyak keluarga yang
menolak dan menyembunyikan bahkan dianggap menjadi aib kehadiran anak
difabilitas.
I.
PEMBAHASAN
a)
Ayah,
mengapa aku berbeda?
Film
yang diproduksi oleh Rumah Produksi Rapi
Films yang disutradarai oleh Findo Purwono Hw menceritakan tentang seorang
anak tunarungu bernama Angel yang berjuang melawan segala keterbatasan dirinya.
Ia lahir prematur di sebuah rumah sakit dan ibunya meninggal saat melahirkan
dia. Ia dibesarkan dengan kasih sayang oleh ayah dan neneknya, hingga suatu
saat ayahnya menyadari bahwa Angel menderita tunarungu. Karena itu, dokter menyarankan ayahnya untuk melakukan terapi secara intensif bagi Angel, supaya memudahkan dia untuk
berkomunikasi. Pada awalnya,
Angel masih bisa mendengar dengan memakai alat bantu pendengaran sampai
suatu saat ia merasakan sakit yang sangat luar biasa di telinga saat menonton TV hingga ia pun jatuh pingsan dan
telinganya mengeluarkan darah. Sejak saat itu, ia tidak bisa mendengar sama sekali dan dunianya menjadi
hening. Dunianya sekejap
berubah dalam keheningan, tetapi ternyata Angel yang terlahir sebagai
tunarungu memiliki kelebihan dalam hal prestasi di bidang pendidikan dan seni
musik. Kelebihan inilah yang membuat Angel kemudian dapat diterima di sekolah
umum seperti anak-anak lainnya. Meskipun hal itu harus diawali dengan
perdebatan antara ayah dan neneknya. Neneknya melihat Angel adalah pribadi yang
berbeda dengan orang lain (lingkungan sekolah umum yang akan dimasukinya), karena keadaan Angel
sebagai tunarungu. Namun sang ayah melihat Angel tidak berbeda dalam keadaannya
itu. Angel berbeda karena dia lebih hebat/kuat dibanding ayah dan neneknya yang
sulit menerima keadaan Angel. Pada akhirnya, Angel pun disekolahkan di sekolah
umum seperti anak-anak “normal” lainnya. Kepala sekolah
yang awalnya menolak untuk menerima Angel, akhirnya bisa menerima dia setelah
melihat kemampuannya ketika mengerjakan soal-soal yang diberikan. Sayangnya,
kehadiran Angel mendapat respon negatif dari teman-teman sekolahnya (Agnes dan
teman-teman). Mereka sering menertawai dan membully Angel. Akan tetapi,
Angel masih memiliki seorang sahabat yang setia menemaninya sejak di bangku
SMP-SMA, yaitu Hendra. Angel pun mulai berani unjuk gigi saat bisa bergabung
dengan kelas musik untuk bermain piano, meskipun dia harus berhadapan dengan
Agnes yang akhirnya menciderai dia. Hal itu membuat Agnes harus dikeluarkan
dari sekolah. Setelah lulus SMP, Angel mulai mengajar sebagai guru piano bagi
orang-orang tunarungu. Namun di bangku SMA, ia harus berjumpa lagi dengan Agnes. Agnes membalas sakit
hatinya waktu dulu. Namun di sini terlihat sikap Angel yang mulai berani untuk
melawan dibandingkan sikapnya waktu SMP yang hanya bisa menangis.
Pada suatu saat, Angel
berjumpa dengan Ferly yang kemudian menjadi kekasihnya. Seiring berjalannya
waktu, ayah Angel semakin terpuruk kesehatannya karena terserang penyakit
jantung. Penghasilan keluarga mulai menurun sedangkan kebutuhan untuk membeli
obat untuk sang ayah
tidak bisa dihentikan begitu saja. Karena itu, Angel memutuskan untuk bekerja
sebagai pianis di café tempat Ferly bekerja. Sayangnya, hidup ayah Angel tidak
bertahan lama. Ayahnya pun menghembuskan nafas terakhir saat Angel harus
mengikuti Kompetisi Piano Klasik. Angel tentu merasa terpukul dan benar-benar
kehilangan sosok orang tua tunggal yang selama ini ada di sisinya,
mengasihinya, mengasuhnya, mendidiknya, memotivasinya, dan membelanya di mana
pun dan kapan pun itu. Namun pilu yang dirasakan Angel belum berakhir sampai di
situ, karena ia juga harus
kehilangan Ferly akibat kecelakaan motor pada saat Angel berhasil menjadi
lulusan terbaik di sekolahnya.
Kehilangan orang yang dicintai untuk kedua kalinya memang berat bahkan seperti
tak adil bagi Angel. Kebahagiaan yang dirasakannya seakan hanya sesaat saja dalam hidupnya. Namun
pada akhirnya, Angel pun bisa memaknai arti hidupnya dan merasakan kebahagiaan
saat dia telah berhasil menjadi pengusaha sebuah toko roti, sekalipun tidak
melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Dia juga menemukan cinta yang baru dalam
diri Martin, temannya saat SMA.
Angel menemukan sebuah pemaknaan hidup bahwa ia belajar untuk menerima dirinya, “Aku belajar untuk memahami
bahwa hening tidak berarti sunyi, hening tidak berarti sendiri”.
Karakter dan Karakterisasi:
ü Angel Darmakusumo
(Angel) diperankan oleh Dinda Hauw: berperan sebagai anak yang terlahir
tunarungu tetapi memiliki bakat seni dari sang ibu dalam memainkan piano dan
berprestasi di sekolah.
ü Bapak Suryo
Darmakusumo [Suryo] diperankan oleh Surya Saputra: berperan sebagai ayah Angel.
Ayah yang selalu memberi semangat kepada Angel, agar Angel tidak merasa berbeda
dan bisa menerima keadaan dirinya.
ü Nenek Angel diperankan
oleh Rima Melati: berperan sebagai ibu dari Suryo dan nenek Angel, yang awalnya
sangat realistis memandang cucu yang ingin dilindunginya dari penolakan
lingkungan.
ü Ferly bin Azzahwar
(Ferly) diperankan oleh Indra Lyla: berperan sebagai seorang pelayan Café yang
kemudian menjadi kekasih pertama Angel, yang menyemangati Angel dalam bakat dan
pendidikannya.
ü Hendra diperankan oleh
Rafi Kinowntht: berperan sebagai sahabat Angel sejak SMP sampai SMA. Ia dapat
menerima kehadiran Angel dan selalu mendukung Angel.
ü Martin diperankan oleh
Fendy Chow: berperan sebagai teman SMA Angel, yang kemudian menjadi pacar Angel
sepeninggalan Ferly. Ia memiliki rasa simpati dan empati kepada Angel, hingga
berkorban untuk berpacaran dengan Agnes demi melindungi Angel.
ü Agnes diperankan oleh
Kiki Azhari: berperan sebagai tokoh antagonis, yang selalu memusuhi dan
menyiksa Angel sejak SMP sampai SMA.
ü Ibu Cathrina diperankan oleh Rheina Ipeh: berperan sebagai
guru musik Angel ketika SMP dan melatih Angel untuk mengikuti kompetisi musik.
Ia sangat sabar untuk melatih Angel bermain piano, ketika Angel akan mengikuti
Kompetisi Piano Klasik.
ü Jonathan diperankan
oleh Richard Kevin: berperan sebagai pemilik cafe tempat Ferly dan Angel
bekerja. Ia sangat kagum dengan permainan piano dari Angel dan memberi
kesempatan bagi Angel untuk bekerja di tempatnya.
b) Kajian
Teologis
·
Adzan
dan Iqamah
“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Asyhadu
Allah Ilaaha Ilallah”
Itulah bunyi kutipan adzan dan
iqamah yang dikumandangkan oleh pak Suryo di telinga Angel setelah ia
dilahirkan (menit ke 2:35-3:05). Ini merupakan kebiasaan umum yang biasa
dipraktekkan oleh umat Islam. Ketika seorang bayi lahir dia diadzankan pada
telinga kanan dan diiqamahkan pada telinga kiri. Banyak sekali
hikmahnya ketika orang tua membacakan adzan dan iqamah shalat setelah anak dilahirkan. Menurut
Ibnu al-Qayyim dalam kitab Tuhfat Al-Maudud fî Ahkam al-Maulud,
disebutkan bahwa hikmah adzan yang diucapkan di telinga bayi mengajarkan kepada
sang bayi tentang kebesaran Tuhan sekaligus meneguhkan kalimat tauhid ke dalam
jiwanya semenjak dia dilahirkan ke dunia ini. Di samping itu, menurut Ibnu
al-Qayyim, hal itu sebagai pelindung dari gangguan setan atau jin jahat yang selalu
mengincar anak manusia semenjak dilahirkan. Mengumandangkan adzan dan iqamah
shalat di telinga bayi yang baru dilahirkan ini meskipun hukumnya Sunnah, namun
kalau bisa jangan sampai ditinggalkan mengingat pentingnya perkara ini. Hal ini
dipandang penting, terutama kaitannya dengan pendidikan Tauhid bagi anak dan
sebagai permohonan perlindungan sang anak agar tidak diganggu oleh setan atau
jin jahat.[3]
·
Shalat
Keluarga
yang menjadi fokus utama dalam film ini (Keluarga Pak Suryo) adalah keluarga
Islam yang religius dan tekun beribadah. Hal ini dapat dilihat ketika mereka melaksanakan
shalat bersama keluarga (waktu ke 1.03.15 ). Shalat dalam Islam adalah rukun
iman atau kewajiban yang mesti dijalankan sebagai pemeluk agama Islam. Islam mengenal lima rukun iman yang terdiri
dari Sahadat, Shaum, Zakat, Jihad dan Shalat. Shalat dalam Islam menempati kedudukan yang sangat
penting yaitu sebagai tiang agama. Dalam sebuah Hadits, “Pokok segala sesuatu ialah Islam, tiangnya ialah shalat dan
puncaknya ialah jihad di jalan Allah ( Diriwayatkan Muslim, Hadits 2). Hadits
yang lain mengatakan, “Bahkan pembeda antara orang kafir dan Muslim adalah
shalat sebagaimana dikatakan, “Jarak antara seseorang dengan kekafiran ialah
meninggalkan shalat (Diriwayatkan
Muslim Hadits 3). Fungsi shalat dalam agama Islam yaitu untuk mencegah berbuat
kejahatan, mendapatkan
pahala, dan menghapus dosa.
·
Kematian
Ketika Suryo meninggal di Rumah
Sakit, ibunya mengucapkan kalimat “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un” (Waktu 1.14.00). Ucapan ini berarti
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali”. Dalam
agama Islam, ucapan ini sering dipakai saat seseorang tertimpa musibah,
mengalami atau menerima kabar dukacita. Umat Islam meyakini bahwa Allah adalah
Esa yang memberikan dan Dia juga yang mengambil. Karena itu, mereka menyerahkan
diri kepada Tuhan dan bersyukur kepada Tuhan atas segala yang mereka terima.
Pada saat yang sama, mereka bersabar dan menyebut ungkapan ini saat menerima
cobaan atau musibah. Hal ini berarti ibu Suryo merelakan kepergian anaknya.
·
Pengakuan
akan Keberagaman
“Tolong pak, kasi dia kesempatan...”
Demikian
penggalan kata dari pak Suryo yang memohon kepada kepala sekolah, agar Angel diberi kesempatan untuk
sekolah di SMP umum dengan anak-anak lainnya meskipun Angel adalah anak difabel (menit 17.20). Ketika kepala
sekolah Angel yang sebelumnya (SLB, Sekolah Luar Biasa) memberikan saran agar
Angel bisa melanjutkan pendidikannya disekolah yang kualitasnya lebih baik seperti di Jakarta karena kemampuannya, maka
lain halnya dengan kepala sekolah SMP tempat Angel didaftarkan. Kelompok
melihat ini sebagai tindakan penolakan akan adanya keberagaman juga reaksi
nyata bahwa memang ada keberagaman (others) tetapi menolak untuk menerima
keberagaman. Jadi,
kepala sekolah terlihat
seolah-olah menginginkan sekolah yang dipimpinnya hanya ada murid-murid yang homogen
“normal”. Karena itu, tidak wajar jika ada salah satu
anak muridnya yang difabal. Disini kehadiran Angel yang dipandang berbeda
dengan konsep “normal” pada umumnya menegaskan keberagaman merupakan sebuah
keniscayaan. Hal lain yang juga nampak dalam cerita ini adalah sikap menolak
dan membully dari Agnes dan
kawan-kawannya terhadap
Angel (menit 20.08).
Namun
kemudian penerimaan atas keberadaan Angel tetap ada walaupun sesudah melalui
sebuah penolakan. Angel diterima bersekolah di sekolah umum setelah diuji (soal matematika)
oleh kepala sekolah.
Penerimaan akan keberagaman juga terlihat, ketika seorang guru menjawab pertanyaan Agnes dengan berkata, “Tidak Agnes! Angel
pantas untuk mendapat kesempatan seperti kalian”. Kelompok melihat bahwa adegan
ini menampilkan sebuah kritik yang tajam atas sistim pendidikan. Sistem pendidikan seolah-olah
membagi kategori antara pendidikan anak “normal” dan anak difabilitas. Kelompok
memang menyadari bahwa dibutuhkan penangan khusus terhadap anak difabilitas,
khususnya dalam hal mengajar/pendidikan. Tetapi, kita tidak boleh menutup mata
bahwa penderita difabilitas juga memiliki hak yang sama apalagi mereka juga
memiliki kemampuan intelektual yang kurang lebih sama seperti anak normal.
Karena itu, mereka juga memiliki hak untuk bisa mendapatkan pendidikan di
sekolah umum. Selain itu, tes yang diberikan oleh kepala sekolah
dipandang menyepelekan mata pelajaran lain dan mengunggulkan ilmu Aljabar (Matematika). Pendidikan di Indonesia lebih
mengukur kecerdesan seorang dari ilmu Sains saja. Padahal pengetahuan semua
ilmu adalah sama-sama penting. Di sinilah letak ketidakadilan dalam pengakuan
akan keberagaman. Tetapi kehadiran
Angel menyeimbangkan
pentingnya antara pendidikan formal dengan keterampilan bermain musik. Karena itu, kelompok melihat
ada dua makna teologis yang berkaitan dengan pengakuan akan keberagaman:
1.
Keberagaman
dalam Kesatuan
Pandangan
yang selalu melihat Angel sebagai “the
others” oleh orang yang
“normal”, menurut kelompok harus
diganti. Rasul Paulus pun mengingatkan bahwa ada banyak anggota dalam satu
tubuh (1 Kor. 12: 12-31). Hal ini nampak pada penggunaan kata “mele” ketimbang
“melos” (ayat 12). Mele bersifat jamak sedangkan melos bersifat tunggal.[4]
Walaupun latar belakang teks ini
adalah bukan keberagaman manusia melainkan keberagaman karunia, kandungan teologis yang menjadi penekanan Paulus tentang sebuah
“Kesatuan” inilah juga yang ingin menjadi sudut pandang kelompok. Tulisan
tersebut menggiring penghapusan konsep “the
others”. Artinya, difabel merupakan bagian dari anggota masyarakat bukan
“orang normal” saja anggotanya. Konsep “the others” yang dilekatkan kepada kelompok difabilitas cenderung
menimbulkan struktur hierarki
budaya dominan-marjinal, modern-etnik, dan global-lokal. Selain iu, mengenai relasi yang harusnya
menjadi warna erat bagi umat kristen ditengah masyarakat yaitu “kasih”. Dalam 1 Yohanes 4:20 diungkapkan
bahwa kehidupan berelasi umat adalah refleksi dari kehidupan berelasi dengan
sesama karena umat telah lebih dahulu dikasihi dengan kematian-Nya bagi “semua” orang. Konsep penerimaan terhadap keberagaman sebenarnya
sudah menjadi hal yang umum saat ini. Jadi dalam komunitas masyarakat, semua
anggotanya memiliki paham untuk menerima bahwa kita sudah berbeda dari awal
sehingga tidak perlu disama-samakan. Ini dipicu dari perkembangan pemikiran
yang semakin mengarah pada penerimaan perbedaan itu.
2.
Semua
Manusia Sama di Hadapan Allah
Seusai shalat, ayah Angel memeluk
Angel sambil berkata dalam hati, “Mungkin menurutmu, kamu berbeda dari yang
lain. Tapi di hadapan Allah, semua manusia itu sama” (waktu 01.03.56). Ungkapan
“Di hadapan Allah, semua manusia itu sama” merupakan sebuah ungkapan yang
bermakna teologis.
Konsep
tentang manusia sama di hadapan Tuhan dalam ajaran Islam dapat dilihat dari
kisah penciptaan. Kisah penciptaan memperlihatkan bagaimana manusia diciptakan
oleh Allah Swt. Di dalam Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah
lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah. Pada akhirnya, ia menjadi makhluk yang
paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan[5].
Karena itu, dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah
makhluk yang paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh
petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat[6].
Hal yang membedakan manusia itu sendiri adalah ketaqwaan mereka kepada Tuhan.
Dalam ajaran teologi Kristen pun
memiliki pemahaman yang kurang lebih sama dengan ajaran Islam, bahwa semua manusia
diciptakan oleh Allah bahkan dikatakan segambar dan serupa dengan Allah (Kej.
1:26-27).
Karena itu, dari kisah penciptaan dapat dilihat bahwa semua manusia sama di
hadapan-Nya sebagai gambar dan rupa-Nya. Tidak ada manusia yang lebih sempurna
atau kurang sempurna ketika Allah menciptakannya. Semua manusia sama sebagai
gambar dan rupa Allah. Tidak ada konsep superior dan inferior dalam relasi
manusia dengan Allah.
·
Teologi Tubuh seorang Perempuan
Difabilitas (Tunarungu)
Kelompok
juga melihat film ini
dalam perspektif feminis yaitu
kaitannya dengan tubuh seorang perempuan difabel. Anna Marsiana mengutip Chung Hyun Kyung dalam tulisan tentang Teologi Tubuh
yang mengatakan bahwa tubuh perempuan adalah representasi dari pengalaman
kesakitan dan penderitaan perempuan di Asia. Tubuh perempuan Asia, yaitu ”tubuh
yang terpecah” (the broken body),
adalah perekam sejarah ketidakadilan dan penindasan yang berlaku atas
perempuan-perempuan Asia, dan juga adalah ketidakadilan (yang) masih terus
berlangsung. Anna memiliki pengalaman sharing
bersama kaum difabilitas, ia mencatat
bahwa pengalaman ketubuhan yang disharingkan memampukannya berdialog
dengan nyaman dengan kawan dan sahabat difabel karena sharing
tsb telah mengantarkan saya pada kesadaran bahwa ternyata kita sesungguhnya sama-sama difabel, hanya dalam
kondisi yang berbeda. Saya sama differently
able-nya dengan dia, hanya saja oleh standard yang ada, ke-difabel-an saya
tidak terlihat, sedangkan ke-difabel-an dia nyata terlihat. Saya masuk ke dalam
kelompok mayoritas yang selama ini telah
tanpa sadar memiliki privilege untuk
mendifinisikan siapa yang difabel dan siapa yang tidak difabel dan bahkan
disebut normal.[7]
Perbedaan tubuh (baca pancaindra)
yang dialami Angel sebagai perempuan difabel (tunarungu) membuatnya mengalami
penindasan dan kekerasan terhadap tubuhnya baik yang berifat verbal maupun
kekerasan fisik, yang anehnya justru paling banyak dilakukan oleh sesama
perempuan (Agnes dan teman-teman) (menit 20.08-21.10). Kelompok menyimpulkan bahwa Angel dapat
menjadi representasi realitas kaum perempuan Asia (baca Indonesia) yang masih
saja mengalami penindasan dan kekerasan ganda akibat tubuhnya sebagai perempuan
sekaligus yang difabel. Seperti ketika wajahnya dirias (baca dimake up;
menit 1.10.46) serba tidak
beraturan oleh Agnes dan teman-temannya menjelang kompetisi, sehingga ia tampil
dengan wajah yang coreng-moreng. Ini adalah contoh pelecehan seksual. Tokoh
Agnes, kepala sekolah SMP, maupun nenek dalam film ini mewakili masyarakat pada
umumnya yang melihat kaum difabel sebagai manusia yang berbeda dalam arti
negatif, tidak normal. Karena itu, layak untuk ditindas, dilecehkan bahkan
disingkirkan.
·
Yesus
dan kaum difabilitas dalam Alkitab
Dalam Alkitab
beberapa teks menceritakan bagaimana kisah perjumpaan Yesus dengan orang-orang
yang disingkirkan oleh masyarakat karena difabilitasnya seperti orang buta,
bisu, tuli, lumpuh dan sebagainya (misalnya dalam Markus 7: 31-37, Matius 9:6,
27-29, 15:29-31, 20:29-34 dsb). Perjumpaan Yesus dengan mereka biasanya karena
mereka sendiri yang mendatangiNya atau dibawa oleh orang-orang yang ingin
mereka disembuhkan. Selain memberitakan Injil di rumah-rumah ibadat, mengusir
setan-setan (Markus 1:38-39), rupanya menyembuhkan orang-orang sakit adalah
salah satu pekerjaan Yesus selama Ia berada di dunia ini (Markus 1:29-34).
Karena itulah maka tidak jarang orang-orang mendatangiNya karena ingin
mendapatkan kesembuhan termasuk kaum difabilitas. Yesus memiliki kuasa untuk
menyembuhkan segala macam penyakit maka tidak heran Ia dipandang sebagai Sang
Tabib yang ajaib. Yesus sebagai tabib itulah kiranya yang masih mempengaruhi
banyak orang hingga kini sehingga mengabaikan pertama-tama bagaimana sikap
penerimaan Yesus yang utuh kepada mereka (baca kaum difabilitas). Yesus tidak
seperti kebanyakan orang Yahudi atau bahkan murid-murid ketika itu yang menolak
kehadiran mereka. Kelompok melihat bagaimana jika mereka memang tidak dapat
disembuhkan?
Dalam sosok
baru Yesus sebagai orang bijak, orang-orang Kristen Asia dapat menemukan
seorang manusia yang menolong mereka untuk menemukan suatu jalan untuk
menanggapi kemajemukkan keagamaan dan masalah yang lebih besar lagi berupa
ketidakadilan yang dialami manusia[8].
Kata ketidakadilan disini mencakup pula apa yang dialami oleh kaum difabilitas.
Gambar Yesus inilah yang seharusnya diambil oleh gereja-gereja kita di
Indonesia. Yesus sebagai seorang yang berhikmat memiliki keterbukaan dan
memiliki tekad kuat untuk mengangkat derajat mereka yang miskin, perempuan,
anak-anak, kaum difabilitas, dan orang berdosa. Bertolak dari gambaran itu maka
kelompok berpendapat bahwa kaum difabilitas tidak perlu disembuhkan untuk
dipulihkan martabatnya. Mereka hanya butuh sikap penerimaan terhadap keberadaan
mereka apa adanya. Seperti Yesus yang menegakkan dan memulihkan derajat dan
martabat mereka maka kita juga seharusnya memulihkan dan menegakkan derajat dan
martabat kaum difabilitas.
Kisah
Natalius Anton Patanan STh, SH bisa menjadi sebuah contoh nyata bagaimana
perjuangan seorang difabilitas (tunanetra) yang mengalami penolakkan dari
sekolah teologi dan bahkan gereja. Pada tahun 2001 ia melamar studi di STT
Intim Makassar namun oleh panitia penerimaan waktu itu menolak karena ia buta
dan tidak ada fasilitas kampus berupa Alkitab Braile untuknya. Namun
kata-katanya ketika itu mirip dengan kata-kata Ayah Angel, “Tolong kasih saya kesempatan Pak, saya bertekad mencoba”. Pada
akhirnya pihak kampus menerima Anton. Menariknya adalah rekan-rekan Anton
seangkatan membantunya dengan dukungan penuh dalam proses menerima
pembelajaran. Selain ia membawa tape recorder dan menulis sendiri materi
pelajaran dengan huruf braille, rekan-rekan menolongnya dengan bergilir
membacakan setiap materi dan membantunya dengan pejelasan-penjelasan. Ia dianugerahi
pendengaran yang sangat tajam dan ingatan yang kuat. Akhirnya Anton lulus
dengan nilai A di akhir ujian skripsinya, uniknya ia sendirian yang pergi
meneliti di Bandung tentang pembakaran gereja-gereja yang menjadi tema
skripsinya. Lalu bagaimana dengan sikap gerejanya? Ketika lulus dan kembali ke
gereja untuk melamar sebagai calon pendeta, ia ditolak oleh pihak sinode karena
difabilitasnya. Gereja mengatakan dengan difabilitasnya mana mungkin ia mampu
melayani jemaat. Dengan penuh kekecewaan ia akhirnya melamar tes PNS untuk
menjadi guru agama dan menariknya ia saja yang lulus dari 7 orang yang melamar
(ia sendiri yang difabel). Ia ditempatkan mengajar di sebuah SD di daerah
Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia berpikir ia dapat diterima oleh negara, bagaimana
dengan gereja, pasti gereja juga akan menerima. Dengan tekad kuat maka ia
kembali melamar menjadi calon pendeta tetapi lagi-lagi Sinode menolaknya, iapun
kecewa. Ia akhirnya meneruskan studi jurusan hukum (ia sangat berminat dengan
masalah advokasi) di salah satu universitas dan lulus menjadi seorang Sarjana
Hukum. Apa yang dialami Anton mencerminkan penolakkan yang umumnya dialami oleh
kaum difabilitas. Tetapi Anton membuktikan ia mampu belajar di universitas
bahkan berprestasi terlepas dari difabilitasnya.
Paling
penting disini menurut kelompok adalah penerimaan komunitas dimana ia berada
dan ia didukung penuh untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya. Itulah yang
seharusnya dilakukan oleh masyarakat dan gereja. Menurut kelompok lembaga
pendidikan termasuk sekolah teologi harus menerima dan memberi kesempatan
kepada kaum difabilitas untuk mnempuh pendidikan. Demikian pula gereja harus
menerima kaum difabilitas dan menyediakan fasilitas yang ramah terhadap kaum
difabilitas. Salah satu yang perlu diperhatikan
secara serius adalah arsitektur gereja itu sendiri yang belum menjawab
kebutuhan kaum difabilitas seperti contoh sederhana terlalu banyak anak tangga
menuju pintu gereja dan tidak ada jalan untuk pengguna kursi roda. Jika
masyarakat dan gereja sudah menerima bahkan mendukung mereka maka kaum
difabilitas pasti akan dipulihkan derajat dan martabatnya. Bahkan negara
menjamin itu Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Difabel, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Difabel, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada
Bangunan Umum dan Lingkungan, Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung, dan beberapa peraturan lainnya. Bahkan, Presiden Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono, menginstruksikan kepada para gubernur di Indonesia untuk
menyediakan fasilitas yang memadai bagi difabel.[9]
Hal tersebut disampaikannya dalam pidato peringatan hari Difabel Internasional
tahun 2005.
Jika kita masih percaya bahwa esensi
teologi adalah manusia dan pembebasan manusia, bicara tentang tubuh Kristus
yang disalibkan, akan terasa lebih nyata dan mewujud ketika kita memulai dengan
menggali dan merefleksikan pengalaman ketubuhan kita yang coded, imprisoned,
dan broken (berdasarkan aturan, terpenjara, rusak/hancur). Kalimat “inilah
tubuhKu yang dipecah-pecahkan bagimu…” dalam perjamuan kudus menemukan maknanya
ketika kita mulai merefleksikan hidup kita dari perspektif pengalaman ketubuhan
kita. Kristus pun turut menderita dalam ketertindasan dan kehancuran tubuh
kita. Tubuh adalah bagian integral dari diri kita, bahkan yang paling
dekat dengan kita, satu-satunya yang kita bawa waktu kita lahir dan akan kita
bawa waktu kita mati. Karena itu, keyakinan spiritualitas yang utuh hanya bisa kita dapatkan di dalam penerimaan diri yang sepenuhnya, dan di dalamnya
adalah tubuh, yang adalah bagian terdekat dengan diri kita.[10] Angel sudah menerima
keterbedaan tubuhnya itu dengan utuh bahkan memahaminya sebagai bagian terbaik
yang Tuhan berikan dalam hidupnya. Mengapa gereja dan lembaga pendidikan
masih kaku menyingkapi hal ini?
c) Kajian
Spiritualitas
·
Spiritualitas
keheningan
“Ternyata Ayahku benar aku memang berbeda
tidak seperti manusia, Tuhan
memberiku dunia yang hening dan ternyata keheningan adalah pemberian terbaik
Tuhan bagiku. Dalam hening, aku belajar menghargai warna dan binar dunia. Dalam
hening, aku belajar untuk tidak merasa sepi. Karena hening tidak harus sunyi.
Karena hening bukan berarti sendiri.”
Spiritualitas yang nampak
dalam ungkapan-ungkapan ini adalah keheningan, sebab Angel memiliki pandangan
tersendiri terhadap keheningan yang dialaminya
dan juga
berpengaruh pada bagaimana ia memaknai kehidupannya. Pada akhirnya, ia
membenarkan pernyataan Ayahnya bahwa ia memang berbeda, karena ia tidak dapat
mendengar dan hidup dalam dunianya yang hening. Menurut Angel,
dunianya yang hening itu adalah pemberian terbaik yang telah Tuhan berikan
dalam hidupnya. Sebab dalam keheningan ia belajar menghargai warna dan binar
dunia. Dunianya yang hening (internal) telah menghantarkan dan menolong Angel
mengalami proses pembelajaran untuk menghargai ciptaan Tuhan berupa warna-warni
dan cahaya-cahaya dunia yang dapat ia nikmati sehari-hari (eksternal). Ia dapat
melihat satu hal lebih mendalam dan memaknainya sebagai sesuatu yang indah.
Matthew Fox menjelaskan mengenai bagaimana cara masuk ke dasar jiwa (foundation of the soul), ia
memasukkan keheningan sebagai satu hal yang menjadi syarat di samping tiga hal yang lain
yaitu ke-diam-an, ketidakpedulian dan ketiadaan. Ini merupakan bagian dari via negativa sebagai salah satu jalan
untuk melihat dunia secara utuh. Dalam jalan ini semua pandangan diarahkan
kepada satu fokus yaitu dasar keberadaan (foundation
of being) di mana harta yang sesungguhnya ada. Konsentrasi pada satu hal akan mengakibatkan ketidakpedulian akan hal lain, yang
kemudian pada gilirannya menuntun pada penemuan dasar jiwa sebagai harta yang
sesungguhnya. Karena dasar jiwa dan dasar keberadaan tidak akan membuka
rahasianya pada dunia yang ribut sibuk dan serba superfisial.[11] Dengan keheningan yang
dialami oleh Angel, ia lebih bisa melihat dunia dengan jiwanya.
Lebih lanjut lagi Angel
berpandangan bahwa dalam keheningan itu ia tidak merasa sepi, sunyi, sendiri.
Ia menyanggah pandangan yang ada pada khalayak bahwa hening selalu mengandung
tiga hal tadi. Rumi juga
memandang diam sebagai hal yang positif. Dalam puisinya, Rumi mengartikan diam
sebagai mati. Mati bukan berarti mati tubuh, tapi merupakan perpindahan dari situasi kini
dan masuk ke dalam cinta karena “bila kau telah mati dalam Cinta ini akan
kauperoleh hidup baru”. Menurutnya, dengan diam seseorang akan mengalami
pembebasan jiwa badani yang terikat pada badan seperti tawanan yang terbelenggu.[12]
Dalam kisah Angel,
sebenarnya ketika ia mengalami keheningan akibat tunarungu, ia justru
mendapatkan cinta dari orang tuanya dan orang-orang yang betul-betul menyayanginya.
·
Spiritualitas
Keadilan
Menurut kelompok, sikap Ibu
Cathrina, Guru Musik Angel waktu SMP yang menerima Angel walaupun ia tunarungu
tapi bisa bermain piano menunjukkan keadilan. Karena keadilan juga mengandaikan
pemberian kesempatan yang sama bagi semua orang. Menarik untuk diperhatikan
juga dalam tulisan Gereja Katolik mengenai Keadilan di Dunia, dicantumkan dalam bagian I tentang Keadilan dan
Masyarakat Dunia, ada poin tentang penegasan hak untuk berkembang sebagai hak
azasi manusia.[13]
Menurut
Meister Eckhart, keadilan adalah bentuk perubahan dari orang yang adil. Jadi ia
memahami keadilan sebagai sebuah sikap dari orang adil. Ini merupakan salah
satu unsur penting dari spiritualitasnya. Menurutnya, orang yang adil hidup
dalam Allah dan Allah hidup dalam dia. Semua orang yang bekerja dalam keadilan
akan lahir ke dalam Allah dan Allah akan lahir darinya melalui setiap nilai
yang dikandungnya. Bukan hanya nilai, tapi setiap laku dari orang adil seberapa pun kecilnya akan membuat Tuhan
bersukacita. [14] Matthew
Fox mengatakan bahwa semua landasan teologi kerja dari Eckhart ada pada teologi
kreativitas, keadilan, dan belas kasih. Alasan mengapa Tuhan bersukacita dalam
setiap laku keadilan dari orang adil menurut Fox karena Tuhan adalah keadilan.
Ia menyimpulkan perkataan Eckhart bahwa Tuhan sangat adil – justissimus dan Tuhan adalah, seperti sebelumnya, keadilan itu
sendiri, karena itu berada di dalam Tuhan berarti berada di dalam cinta kasih
dan keadilan.[15]
Menurut
Fox, kita dipanggil untuk melakukan keadilan dalam semua kerja kita, tapi
sebelumnya kita perlu lahir ke dalam keadilan. Karena terobosan dan kelahiran
yang sesungguhnya dari kita adalah sebuah kebangkitan ke dalam keadilan dan ke
dalam Tuhan yang adalah keadilan. Perilaku keadilan selalu membawa bersamanya
semacam kebenaran diantara orang-orang seperti dikatakan Eckhart, bahwa keadilan
seperti sebuah kebenaran yang diterima oleh orang-orang.Orang yang melakukan
keadilan menurut Eckhart tidak mencari apa-apa dengan perbuatannya, karena
semua orang yang melakukan keadilan untuk mendapatkan sesuatu adalah orang yang
bekerja untuk sebuah “mengapa”, dan orang itu adalah budak dan orang bayaran.
Karena itu, untuk
diubahkan ke dalam keadilan, janganlah bermaksud untuk mendapatkan sesuatu dan
bekerjalah untuk “tidak mengapa”, dalam waktu maupun keabadian. Jangan
mengharap penghargaan atau anugerah ini dan itu sebab orang yang bekerja begitu
adalah orang yang sungguh-sungguh mati.[16]
Ini tentu adalah sebuah kelanjutan dari konsep sunder warumbe yang bagi Eckhart, adalah suatu hidup di mana
seseorang tidak berbuat atas dasar pamrih atau imbalan tertentu, baik itu
duniawi maupun rohani.[17]
d) Seni
Kelompok melihat bahwa film
merupakan sebuah karya seni yang ditampilkan dalam lakon dengan kecanggihan
alat-alat yang digunakan di
belakang layar. Film merupakan salah satu bentuk kesenian. Dalam pekerjaan penyusunan dan
pengaturan film inilah terletak wujud kreasi cipta yang sebenarnya. Ide setiap
kerja seni adalah sebuah pandangan cemerlang yang bermutu luhur tentang harga
kehidupan kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk pengucapan seni. Hal yang
sama juga dikehendaki dalam penciptaan dengan film sebagai karya seni. Ide
cerita bisa berasal dari dongeng seseorang dipinggir jalan, mungkin juga cerita
seorang pengarang/seorang sutradara atau buah pikiran seorang produser film,
yang kemudian digubah menjadi cerita dalam kemungkinan-kemungkinan dunia
perfilman.[18]
Sutradara, para pemain, skenario dan pemilihan backsound merupakan unsur
penting dari nilai sebuah film. Menurut kelompok, kesuksesan film ini merupakan
andil besar dari ketotalitasan para pemain dalam menyampaikan pesan cerita. Ada
sederet nama-nama besar, baik aktor
maupun aktris yang terlibat dalam penggarapan film ini. Seperti Dinda
Hauw
yaitu seorang yang bukan difabilitas, tapi berhasil memerankan perannya sebagai
difabilitas. Selain itu, ada juga tokoh Surya Saputra yang banyak meraih penghargaan di dunia perfilman berhasil memerankan
perannya sebagai ayah yang baik bagi anaknya, meskipun dalam kehidupan nyata ia
belum memiliki anak. Ketotalitasan mereka dalam berperan terbukti
dengan banyaknya penonton
menangis atau bahkan memaki-maki tindakan Agnes. Selain itu, backsound yang membantu penonton
memahami apa yang dirasakan pemeran walau tak diungkapkan dalam kata-kata (mis. Lagu
“Rapuh” dari Agnes Monika).
Namun secara jujur melalui
analisa kritis terhadap film tersebut kelompok sepakat jika film ini tidak
benar-benar dapat merepresentasi anak-anak difabel sebab pemeran Angel disini
adalah seorang yang cantik juga berpenampilan menarik. Ini mungkin saja ingin
mengkaunter pola pikir bahwa anak difabel itu jelek dan jorok, bahwa ternyata
ada juga yang chanti, tampan dan bisa mengurus diri (penampilannya). Karena itu
kelompok menyimpulkan bahwa Angel kurang representatif. Namun kelompok juga
tidak memungkiri bahwa sebuah film selain mementingkan kualitas film penuh
makna juga memperhitungkan nilai untung rugi (komersial). Sebab itu pemilihan
pemeran juga melalui tahap ini, sehingga artis yang sudah sangat dikenal dan
kemampuannya tidak diragukan lagi. Sebab untuk memerankan Angel tentu tidak
mudah, demikian tutur Dinda Hauw ketika diwawancarai seputar film “Ayah Mengapa
Aku Berbeda?” sebab ia harus belajar dan menghafal bahasa isyarat.[19]
Adapun nilai seni
dalam film ini juga terlihat
dari permainan musik piano oleh seorang difabel. Film ini menunjukan bahwa jiwa
seni bukan sekedar sebuah hobi atau kemampuan tetapi juga adalah bakat alami.
Ada ungkapan “orang ini memiliki darah seni”, ini menggambarkan bahwa Angel memiliki
keahlian tersebut bukan kebetulan, tapi karena memiliki latar belakang keluarga yang erat dengan
seni. Angel dapat bermain piano walupun tuli adalah kenyataan yang secara
rasional mungkin tidak dapat diterima, tetapi itulah kemampuan yang ia warisi dari sang ibu.
Karakter Angel saat memainkan musik dengan keterbatasannya mempertegas
kata-kata sang guru musik, “Musik memang harus didengarkan tetapi dengan hati”.
Ini menunjukan bahwa seni bukan semata hasil olah logika atau otak, tetapi
lebih kepada olah karsa, cipta dan rasa (sensibilitas).
II.
Penutup
Dari kajian film yang diuraikan
di atas, kelompok mencoba mengeksplor makna-makna yang terkandung dalam film “Ayah Mengapa Aku Berbeda?”
sebagai
sebuah kesimpulan:
1.
Bahwa para penderita difabilitas adalah orang-orang yang
tidak pernah memiliki kemampuan untuk memilih seperti apa mereka harus
dilahirkan. Keberadaan mereka ini membawa pada pergulatan dengan diri dalam
pertanyaan seperti judul film ini.
2.
Para difabilitas bukan orang aneh atau asing tetapi
mereka bagian dari kita (masyarakat dan gereja), karena itu lingkungan harus belajar untuk menerima
dan memberi
dukungan bagi mereka.
3.
Negara Indonesia dengan Ideologi Pancasila khususnya Sila
ke 5 dan UU, harusnya dapat memberikan perlakuan yang sama bagi kelompok
difabilitas untuk dapat memiliki kesempatan yang sama di sekolah-sekolah umum lainnya.
Juga saran kelompok agar kualitas lembaga pendidikan SLB ditingkatkan agar
kedepan bisa menjawab pergumulan sang kepala sekolah SLB yang mengakui
keterbatasan lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
4.
Konflik antar karakter yang ditampilkan adalah gambaran
akan realitas yang umumnya dihadapi oleh kaum difabilitas, baik secara
sadar maupun tidak sadar. Karena itu, kelompok mengusulkan film ini untuk ditonton oleh keluarga atau
masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kelompok atau pribadi yang
difabilitas. Sebab pola pikir dan ketegaran ayah Angel untuk memperjuangkan hak
anaknya patut ditiru oleh orang tua yang dianugerahi anak difabilitas. Karena sering kali,
ada keluarga yang menyembunyikan anak-anak
mereka yang difabilitas ini
dari lingkungan sebab malu atau tidak bisa menerima kenyataan, seperti
yang kelompok sampaikan dalam latar belakang memilih film ini.
[1] Tabita Kartika Christiani, Berteologi Disabilitas di
Gereja-gereja Indonesia, Pertemuan
Pembinaan Warga Gereja Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode GKJ dan GKI SW
Jawa Tengah, Yogyakarta,
30 April 2014, h. 1.
[2] P. Coleridge, Pembebasan dan pembangunan: Perjuangan
Penyandang Cacat di Negara-negara berkembang, terj. Omi Intan Naomi,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. 60.
[3]
Akhmad Muhaimin Azzet, Tradisi Doa dalam Tradisi Islam, Yahudi dan Kristen,
jendelakeluargabahagia.blogspot.com/.../adzan-dan-iq), diakses tanggal 8 November 2014.
[4] Paulus E.
Kristianto, Pengembangan Kesadaran Teologi
Difabilitas dalam Kurikulum Pendidikan Agama Kristen bagi Perjuangan Keberadaan
Difabel di Indonesia, Makalah Pertemuan
Asosiasi Teolog Indonesia, Yogyakarta, 7-9
Agustus 2014, h. 1.
[5] Radit
Yuda, dalam http://www.academia.edu/4727825/KONSEP_MANUSIA_DALAM_ISLAM_Manusia_diciptakan_Allah_Swt, diakses tanggal 11 November 2014.
[6] Arista Sefreeyeni, dkk, Hakikat Manusia Dalam Islam, 2013, dalam https://aristasefree.wordpress.com/tag/pengertian-manusia-menurut-agama-islam/, diakses tanggal 11 November 2014.
[7]Anna Marsiana, Berteologi
dari Perspektif Tubuh: Sebuah Undangan untuk Melakukan Pembebasan dan
Transformasi Secara Lebih Otentik dan Jujur, Disampaikan dalam Seminar/Pertemuan Peruati
se-Sulutenggo & Luwuk dalam rangka HUT Peruati ke 19, 30 Mei sd 1 Juni
2014, di Tentena.
[8] R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, terj. I. Rakhmat ,(Jakarta: BPK Gunung
Mulia,1996) h. 417.
[9]Titiana Adinda, “Menggugat
Kebijakan dan Pengadaan Fasilitas Umum untuk Difabel”, h. 85.
[11] Matthew Fox, Breakthrough : Meister Eckhart’s Creation
Spirituality in New Translation, (New York: Image Books, 1980) h. 260.
[13] Michael J. Schultheis, Ed P. DeBerri & Peter Henriot, Pokok-pokok
Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1988) h. 87.
[14] Matthew Fox, Breakthrough : Meister Eckhart’s Creation
Spirituality in New Translation, h. 464.
[15] Ibid, h. 467.
[16] ibid, h. 464.
[17] Syafa’atun Almirzanah, When mystic masters meet : Paradigma Baru
dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009) h. 204.
[18] Dien Sjarief, Film:
Sebagai Kesenian Seni Abad Industri, Artikel Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia dan Sinematika Indonesia, 1998.

Komentar
Posting Komentar