Menulis itu...

SUARA Televisi terus terdengar walaupun yang menonton sudah tertidur. Masih juga terdengar suara-suara orang-orang yang bercakap-cakap di luar, yang kedengarannya mereka hanya lewat dan sementara bercakap di atas Sepeda Motor. Jam sudah menunjukkan pukul 00.38. Memang ini adalah waktu bagi setiap orang untuk tidur terlelap. Karena berdasarkan pada anjuran kesehatan yang cukup berkembang akhir-akhir ini, orang dewasa sepatutnya mulai untuk tidur pada pukul 22.00 (10 malam). Waktu ini dianjurkan sebab menurut penelitian yang sudah dilakukan, waktu yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk beristirahat dan memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak atau mati akibat kerja yang sudah dilakukan sepanjang hari adalah pukul 22.00 (10 Malam).
 
Saya memang tidak mengikuti anjuran di atas. Karena malam itu saya menghabiskan waktu untuk membaca buku yang berjudul Struggling in Hope (Bergumul dalam Pengharapan) : Buku Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera (2001). Sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan dari beberapa orang yang cukup ahli di bidangnya (terlebih khusus bidang Agama-agama dan Masyarakat) yang sengaja dikumpulkan untuk dipersembahkan sebagai penghargaan bagi Pdt. Dr. Eka Darmaputera yang waktu itu memasuki masa Emeritus (Pensiun) sebagai seorang Pendeta.

Buku itu saya pinjam dari Pdt. Jan C. M. Waworuntu, S.Th., yang sekarang ini menjadi Ketua Jemaat GMIM Baitel Girian, tempat saya melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Ya, saya sekarang berstatus sebagai Mahasiswa Peserta KKN Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) tahun 2012 di Kelurahan Girian Atas, Kecamatan Girian, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.

Selama 2 Bulan, kami (saya dan 3 rekan lainnya) ditugaskan untuk melaksanakan KKN di Kelurahan Girian Atas, sejak  tanggal 2 Juli hingga 2 September tahun 2012. Karena hubungan baik yang terjalin antara kami Mahasiswa KKN dengan Jemaat GMIM Baitel Girian, maka saya berkesempatan untuk meminjam buku dari Ketua Jemaat tersebut.

Tepatnya 28 Juli 2012, adalah waktu saya memulai tulisan ini. Memang sudah sejak beberapa waktu yang lalu saya selalu berkeinginan untuk membuat tulisan. Karena tulisan itu bisa membuat hidup seseorang menjadi lebih bermakna, itulah keyakinanku. “Dengan menulis, pikiran/ide-mu bisa menjadi abadi dan dikenang selalu” , ucap Denni H. R. Pinontoan, M.Teol., salah seorang Dosen bidang Agama-agama di Fakultas Teologi UKIT, tempat saya menuntut Ilmu.

Pendapat itu juga ada benarnya bila dilihat dari bukti nyata tulisan yang dibuat oleh Ds. R. M. Luntungan di Bukit Inspirasi yang masih ada sampai sekarang dan sudah bertahan selama puluhan tahun lamanya dan terus menjadi inspirasi bagi banyak orang sampai sekarang terlebih khusus Gerakan Oikumenis.

Keinginan yang telah lama terpendam itu, selalu mendapat hambatan namun akhirnya mendapat jalan keluar dengan cara menulis apa yang ingin saya ungkapkan dan dibuat dengan seindah-indahnya. Sebenarnya, hambatan selama ini yang muncul adalah hal apa yang sesungguhnya ingin saya tulis.
Banyak hal memang yang bisa menjadi inspirasi bagi orang mulai menulis. Tapi bagi saya, inspirasi yang tepat sulit untuk ditemukan. Inspirasi yang kurang tepat dapat menyebabkan semangat untuk menulis jadi mudah kendor. Alhasil, tulisan yang lahirpun bukanlah hasil yang terbaik dan cenderung mengecewakan. Itulah alasan mengapa sudah lebih dari 2 bulan, saya tidak membuat tulisan lagi. Padahal sudah sejak tahun lalu, tepatnya Juli 2011, saya sudah Blog guna menampilkan tulisan-tulisan yang saya buat.

Sekarang saya sudah mendapat inspirasi yang cukup baik untuk menulis, yaitu dengan membuat tulisan tentang orang yang kukenal. Inpirasi ini saya dapat dari membaca Buku Struggling in Hope tadi. Saya melihat salah satu tulisan dalam buku itu, tulisan yang berisi kesan seorang Pendeta terhdap Pribadi dari Pdt. Eka Darmaputera. Tulisan itu sangatlah ringan. Tidak menggunakan bahasa yang sulit untuk dimengerti, namun isinya sangatlah menyentuh. Itu disebabkan karena isi dari tulisan itu adalah kesan yang muncul dari Pengalaman si Penulis dengan sosok Pdt. Eka Darmaputera. Ini menjadi semacam motivasi bagi saya untuk menulis hal-hal yang lebih kurang sama. Namun saya tulis untuk orang lain.

Ini terbilang sangatlah mudah karena dalam tulisan yang akan dibuat, hanya perlu untuk menulis hal yang kita ketahui tentang orang yang akan kita tulis. Kita semua tentu mempunyai terhadap orang lain yang kita kenal. Kesan inilah yang bisa menjadi semacam nilai dari tulisan yang kita buat nanti. Ini juga tentu wajib dibarengi dengan kemampuan/skill menulis yang baik agar orang yang membaca tidaklah merasa bosan dan bisa merasa puas.

Tentang siapa yang dan apa yang akan ditulis, wow, bahannya tentu sangatlah mudah didapat. Karena kita hanya perlu menulis yang kita tahu saja. Tentu tulisan-tulisan ini jadi menarik apalagi kalau dibaca orang bersangkutan yang menjadi objek penulisan. Saya tidak dapat membayangkan ekspresi-ekspresi yang muncul dari orang-orang yang membaca tulisan-tulisan itu nanti.

Semua hal tadi memang sangatlah menarik dan penting, tapi bagi saya, semua itu bukanlah hal yang terpenting. “Yang penting adalah kepuasan batin dalam menulis”, tulis Pdt. I Wayan Jhony, M.Teol., M.Si., salah seorang Dosen Luar Biasa bidang Etika di Fakultas Teologi UKIT yang juga aktif menulis di media massa, dalam suatu e-mail yang ia kirimkan kepada saya. Dan saya setuju sekali akan hal itu. Karena setiap orang tentu memerlukan kepuasan batin dalam hidupnya.

Dari menulis, saya bisa mendapatkan kepuasan batin. Selain itu, ada hal lain juga yang memberi saya kepuasan batin, seperti menyanyi di Paduan Suara dan memperjuangkan mimpi saya untuk Sekolah ke Luar Negeri. Semua hal ini bisa saya lakukan tanpa mengharap balasan.

Memang saya juga tidaklah ahli dalam bidang tulis-menulis. Dalam dunia tulis menulispun saya masih terbilang baru. Namun melalui menulis, saya mendapat wadah untuk mencurahkan isi perasaan. Dengan menulis, saya bisa melupakan segala kepenatan aktivitas dan bisa mendapat kesenangan dari menulis hal yang saya sukai.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengikuti Kursus Menulis Narasi, yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau bekerjasama dengan Mawale Movement dan UKIT. Dari kursus yang saya ikuti itu, banyak hal yang saya dapatkan. Terutama sedikit teknik menulis hal-hal yang cukup berat, dengan durasi yang panjang dan menarik. Memang itulah maksud dari Kursus. Disitu diajarkan cara untuk membuat tulisan panjang namun tetap menarik untuk dibaca.
Foto Penulis ketika mengikuti Kursus Menulis Narasi yang dilaksanakan oleh Yayasan Pantau bekerjasama dengan Mawale Movement dan UKIT pada February 2012. (Foto oleh Eka Egeten)
Kursus itu hanya berlangsung satu minggu dan itu tidak bisa serta merta membuat kami para peserta menjadi seorang yang ahli dalam menulis. Tapi melalui kursus itu, kami diberikan bekal untuk mulai mencoba menulis dengan baik. Untuk menjadi belajar menulis, kami diberi bekal “menulis itu ibarat Tukang kayu, untuk menjadi tahu dan ahli diperlukan latihan terus menerus”, kata Fahri Salam, seorang Wartawan dari Yayasan Pantau yang menjadi salah satu Instruktur di Kursus tersebut.

Dari situ saya mendapat keberanian lebih untuk terus menulis. Selain tujuan saya untuk menunjukkan eksistensi diri saya, itu juga kiranya nanti memberikan pengaruh bagi orang. Tentu pengaruh yang positif.
Bunyi besi yang dipukul-pukul oleh anak-anak kecil dari tetangga terus terdengar di telinga saya. Matahari sore sudah mulai menghangatkan rumahku lagi. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 15.37. Tak terasa saya menyelesaikan tulisan ini selama tiga hari. Tentu tidak selama tiga full saya mengerjakan tulisan ini, namun tulisan ini saya kerjakan di sela-sela waktu KKN yang saya miliki.

Angin hari ini terus bertiup kencang, “Angin Selatan sementara bertiup ini”, kata Adik saya, Yohanes A. Kalampung, seorang Pelaut yang sekarang sementara mengganggur karena Kapalnya sementara beristirahat di Pelabuhan Bitung.Harapanku semoga tulisan-tulisanku berikutnya bertiup seperti angin-angin ini.

Girian Atas-Winenet Satu, Juli 2012.

Komentar

Postingan Populer